08 Oktober 2008

Bekal perjuangan


Bekal perjuangan
Bahwa hidup adalah perjuangan tak ada yang menyangkalnya. Semenjak dari sebentuk tetesan air, manusia memang harus berjuang untuk menjadi hidup. Hanya satu dari ribuan tetesan air itu yang menjadi janin. Di dalam rahim, janin itu adalah manusia sendiri yang berkomunikasi langsung dengan sang Khalik. Ia masih di alam ruh, dan bersaksi dengan benar tentang keberadaan Allah Yang Maha Esa.

Ketika bayi itu lahir ke dunia, perlahan tapi pasti ia menjadi mahluk sosial. Lingkungan menjadi faktor dominan dalam proses pembentukan karakter dan identitas budayanya. Beranjak dewasa ia menjadi manusia multidimensi. Manusia yang harus berkompetisi dalam ekonomi. Bahkan tak terhindarkan pula dari pergulatan kekuasaan. Maka manusia pun menjadi makhluk ekonomi dan politik.

Dan begitulah terus siklus kehidupan manusia. Selalu ada awal yang tak pernah ada akhirnya. Selalu saja kita menemui awal yang baru, tapi tak tahu sedikit pun bagaimana semua ini akan berakhir. Yang jelas hidup ini rangkaian tantangan demi tantangan. Benang merahnya adalah perjuangan. Sebaliknya, kemudahan-kemudahan yang terlalu sering diperoleh semenjak bayi hingga dewasa, seringkali menghasilkan generasi yang manja, lemah jiwa, hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, mudah terlena oleh kesenangan duniawi dan akhirnya takut berhadapan dengan tantangan hidup. Allah membimbing kita semua untuk mengarungi perjuangan hidup ini. Bagaimanakah itu? Mari kita cuplik beberapa diantaranya.

1. Jangan Mudah Puas, Arungilah Terus Cakrawala Luas Kehidupan

Daya juang seseorang berbanding lurus dengan keluasan cakrawalanya. Maka jangan ragu menjelajah cakrawala nan luas. Pikiranlah tempat cakrawala itu memancar. Seorang yang berilmu akan memiliki daya juang yang tinggi. Ibarat sebuah pertempuran, ia memiliki strategi, persenjataan yang canggih, amunisi yang banyak untuk menang. Ia tidak hanya bekerja keras tapi bekerja dengan kecerdasannya. Penuh inovasi dan senantiasa kreatif.

Lihatlah bagaimana keluasan cakrawala berpikir Salman Al-Farisi. Ia arsitek Perang Khandaq. Ialah yang merancang parit-parit yang membuat pasukan kafir Quraisy frustrasi. Bagaimana ia bisa berjalan dari Persia, lalu menjadi Muslim yang diperebutkan kaum Anshor dan Muhajirin menjadi salah satu bagian dari mereka. Bahkan akhirnya Rasulullah menghentikan perebutan itu dengan mengatakan, "Salman termasuk ahlul baitku (keluargaku)." Bagaimana ia mengawali perjuangannya yang bagai tiada akhir itu?

Ia terlahir dari keluarga penganut Majusi. Tapi batinnya memberontak. Tidak sreg menerima ajaran nenek moyangnya itu. Bagaimana mungkin manusia menyembah api yang mereka nyalakan sendiri. Untuk menemukan kebenaran yang hakiki ia rela berpisah dengan keluarga yang ia cintai. Ia meninggalkan kampung halamannya, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mencari keyakinan yang menenangkan. Tentu karena ia sosok yang melihat kehidupan dunia dengan pandangan dan cakrawala yang luas. 

Ia pernah belajar dan menjadi seorang pengikutYahudi karena merasa ajaran itu lebih baik dari Majusi. Namun karena banyaknya penyimpangan yang ia temukan dalam ajaran itu ia pun tidak segan meninggalkannya dan kembali ia mengembara. Tidak berapa lama ia berjumpa seorang pendeta tua yang mengajarkannya agama Nasrani. Ia merasa tertarik. Tapi tidak lama kemudian, sang pendeta jatuh sakit. Menjelang hembusan nafasnya yang terakhir, ia berpesan pada Salman agar berangkat ke Mekkah menemui seorang dari keturunan Arab, suku Quraisy yang telah diutus Allah sebagai rasul terakhir. Tak lupa pendeta itu menceritakan ciri-ciri nabi saw sebagaimana termaktub dalam kitab Injil.

Setelah kepergian sang pendeta, ia pun berangkat menuju ke Mekkah bersama para saudagar. Namun ujian menimpanya. Di tengah perjalanan, kafilah niaga yang diikutinya dijegal para perampok. Ia pun tertawan bersama mereka. Ia lantas dijadikan budak belian yang mengantarkannya sampai ke negeri Syam. Di sana ia menjadi budak yang bertugas memanjat pohon korma. 

Suatu hari ia mendengar hiruk pikuk orang-orang di pasar yang membicarakan kedatangan kafilah dagang dari Mekkah, di mana salah seorang di antara mereka mengaku sebagai nabi dan rasul. Ia tentu saja sangat tertarik dengan cerita ini, karena merasa cita-citanya bertemu dengan sang nabi akan terwujud.

Keesokan harinya, kafilah dagang itu benar-benar sampai di negeri Syam. Ia begitu antusias untuk segera bertemu dengan sang nabi. Meski posisinya sebagai budak menghalanginya namun dengan berbagai daya upaya akhirnya bertemu juga ia dengan Rasulullah. Setelah membuktikan tanda-tanda kenabian yang ada, akhirnya ia menyatakan diri masuk Islam. 

Mencari kebenaran, itulah cita-cita Salman. Dari Majusi, Yahudi, Nasrani dan akhirnya Islam, ia lalui dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Dari laki-laki tegar keturunan Persia ini, kita bisa mengambil hikmah yang sangat berharga tentang keuletan dan semangat mencari kebenaran tanpa mengenal putus asa. Arungilah terus cakrawala luas kehidupan, maka kita akan memiliki daya juang yang tinggi.
2. Jangan Terpaku, Arungilah Bumi ini

Salah satu yang jarang orang menyadarinya adalah keajaiban sebuah perjalanan. Rasulullah dan para sahabat mengisi perjuangannya dengan perjalanan dan perjalanan. Perdagangan, dakwah, hijrah, dan peperangan adalah perjalanan yang panjang. Dan dari perjalanan itu terkuaklah banyak pelajaran dari umat terdahulu. Terbukalah banyak sekali peluang-peluang.

Ritual haji pertahun bagi kita umat Islam adalah juga sebuah perjalanan. Menapaktilasi perjalanan Nabi Ibrahim as. Beragam manusia, suku, bangsa dan bahasa telah memperkaya diri. Membuka wawasan. Menumbuhkan toleransi dan persaudaraan. Perjalanan itu begitu melelahkan. Tapi kita pulang dengan jiwa baru. Segar dan lapang. Pikiran makin bijak. Dan daya juang kita akan bertambah kuat. 

Suasana baru dan pelajaran dari sebuah perjalanan seringkali tak terduga pengaruhnya bagi kita. Allah berfirman agar mengadakan perjalanan di muka bumi demi menalarkan kesudahan orang-orang yang mendustakan agama (3:137). Perjalanan membuat kita lepas dari kelembaman daya tarik bumi yang membuat terpaku. Seseorang yang banyak berpangku tangan akan mudah digoda setan. Diperpanjang angan-angannya. Tapi sesungguhnya mereka tidak berjuang, kecuali bermimpi.

Pagi-pagi sekali dalam dakwahnya, Rasulullah telah memerintahkan para sahabat untuk keluar mencari tempat hijrah. Dikatakan dalam Al Qur’an, "Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rejeki yang banyak." (4:100). Bahkan hadits mengenai niat pun terkait dengan hijrah. Betapa dari hijrah akan terbuka begitu banyak peluang. Membuka belenggu. Memecah kebekuan diri. 

Jerat kebekuan yang menahun paling tidak bisa disela dengan bersegera keluar dan berjalan. Lakukanlah. Yang terjadi seringkali sungguh sesuatu yang menakjubkan. Kita tak pernah menduga efek dari sebuah perjalanan. Al Qur’an mengatakan perjalanan sebagai proses nalar. Belajar tentang peradaban terdahulu yang karam diterpa badai kehidupan. Dari sanalah daya juang kita seperti selalu diperbaharui. Maka arungilah selalu bumi Allah ini seluas-luasnya. Daya juang kita takkan kunjung padam.
3. Jangan Menyendiri, Arungi Kehidupan Bersama Orang-orang Sholeh

Seseorang dilihat dari teman dekatnya, begitu kata Rasulullah. Seseorang juga akan terciprat oleh kebaikan teman dekatnya. Bila berteman dengan tukang minyak wangi akan paling tidak ikut terkesan wangi. Sebaliknya bila berteman dengan seorang pandai besi sedikit banyak pernah terpercik api.

Lihatlah Abu Hurairah yang dengan berbagai cara mengikuti Rasulullah kemana pun. Nama aslinya Abdusy Syams, kemudian diganti oleh Rasulullah dengan Abdurrahman setelah ia memeluk Islam. Ia lahir di Yaman dan sempat menjadi penggembala kambing. Masuk Islam melalui Thufail bin Amr Ad Dusi. Kendati ia seorang yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis, namun berkat kecerdasannya ia menjadi salah seorang tokoh sahabat sekaligus pemimpin para perawi hadits. Tak seorang pun mengunggulinya kecuali Abdullah bin Amr bin Ash, karena selain menghafalkan hadits ia juga menuliskannya. 

Prestasi monumentalnya ini berhasil ia raih tidak lain karena mulazamah-nya yang intens dengan Rasulullah saw. Ia senantiasa mengikuti jejak beliau dan selalu waspada agar tidak terjebak dalam kesenangan duniawi. Untuk ikut bersama Rasulullah melaksanakan shalat malam, tidak jarang beliau tidur di depan pintu rumah beliau. Begitu Rasulullah bangun, melangkahkan kaki menuju Masjid, kakinya menyentuh tubuh Abu Hurairah yang sedang tergolek tidur. Saat itu juga ia terbangun dan ikut shalat bersama beliau.

Di tempat yang bernama Shuffah, ia membuat satu ruangan sebagai tempat tinggalnya sekaligus tempat berkonsentrasi mendalami hadits. Ia sangat cinta pada Rasulullah saw. Suatu hari, ia tertawa pada saat Rasulullah saw mengacungkan tongkat kepadanya. Ia berkata, "Dipukul Rasulullah saw lebih aku sukai daripada setumpuk kekayaan." 

Abu Hurairah mengajarkan pada kita dua hal. Pertama, betapa mahalnya orang sholeh. Karena kesolehan itu sesungguhnya adalah pancaran sinar hidayah Allah yang Dia berikan kepada orang yang dikehendaki-Nya menjadi baik. Hadits Nabi SAW mengatakan ”Barangsiapa yang dikehendaki Allah, maka Allah akan memahamkan agama pada dirinya.” Orang sholeh senantiasa bersemangat memperdalam pemahaman agamanya. Abu Hurairah memilih untuk hidup bersama orang sholeh yaitu Nabi Muhammad dan mau melakukan apa saja untuk bisa terus mengikutinya. Kedua, betapa luar biasanya lompatan kepribadiannya. Ia yang ummi dan hidup bersahaja dapat menjadi pemimpin para perawi hadits. Jadi paksalah diri kita untuk berkumpul dengan orang-orang sholeh bagaimana pun caranya. Dan carilah pintu pencerdasan di dalamnya. Lantas bersiaplah mengalami lompatan prestasi. Sebab hidup bersama pejuang sama dengan menghidupkan perjuangan kita setiap harinya.
4. Jangan Mundur, Arungilah Masa Depan Hingga Kampung Akhirat

Agar api perjuangan tetap menyala, lihatlah ke depan. Tataplah dengan penuh optimisme. Allah mengatakan hendaklah tiap diri memikirkan tentang apa yang ia inginkan di masa depan. Perencanaan menuju tujuan amat penting. Dan do’a adalah aspek spiritual dan ritual agar kita konsisten melihat ke depan. Jadi kenapa kita tidak bersegera membuat rencana dan terus berdo’a.

Melihat ke depan juga berarti berpikir tentang regenerasi. Mengajarkan anak didik yang akan mewarisi nilai-nilai kita. Bergaul dengan generasi yang lebih muda akan membuat kita terus terpelihara daya juangnya. Mengajar, akan selalu menyegarkan daya juang kita. Karena kita berhadapan dengan masa depan. Yang kalau pun cita-cita kita tidak dapat tercapai pada usia kita, ada penerus yang akan mewujudkannya. 

Terlebih dari itu bagi seorang Muslim cita-cita tidak ia gantungkan di bulan atau setinggi langit, tapi menjangkau sampai ke kampung akhirat. Inilah tujuan akhir dan kebahagiaan yang hakiki. Maka wajar kalau dalam persaingan hidup umat Islam mempunyai etos kerja yang tinggi. Daya juang yang hebat. Semua berkat ganjaran yang diberikan di akherat tak berhingga. Begitu juga pengorbanan dan keberaniannya. Seorang Muslim menganggap dunia ini kecil. Maka apalagi yang perlu dipertahankan di dunia selain memastikan diri kita masuk surga.

Lihatlah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia menjadi penguasa Madinah setelah Hisyam bin Ismail dan masyarakat bergembira dengannya. Ia mengutarakan pandangan serta prinsip yang akan ia terapkan. Tidak ada basa-basi, mencari simpati atau merusak. Segera ia mengangkat 10 ulama Madinah menjadi penasehatnya. Kekuasaannya menjadi teladan dan wilayahnya meluas hingga ia pun menjadi wali di Hijaz. Ia didatangi para ulama dan ahli zuhud, yang tidak pernah datang kepada pemimpin sebelumnya. Mereka datang untuk berdialog dan bergaul dengannya. 

Satu hal yang paling berpengaruh dalam hidupnya ketika ia menjadi khalifah adalah sabda Rasulullah tentang kekuasaan, "Sesungguhnya ia adalah kekuasaan di dunia, sedangkan akhirat adalah penyesalan dan kehinaan, kecuali orang yang memegangnya dengan menunaikan hak-haknya dengan sebaik-baiknya." Ia senantiasa menghindari kesenangan hidup di dunia dan sangat dekat dengan ulama, seperti, Raja’ bin Haywah, Salim bin Abdullah, dan Fudhail bin’Iyadh. Ia berkata pada mereka, "Aku telah diuji dengan ujian ini (jabatan). Maka berilah aku nasehat karena kelak pada hari kiamat ia akan jadi bencana, sementara aku dan teman-temanmu memandangnya sebagai nikmat. Fudhail berkata, "Sesungguhnya aku sangat takut akan nasibmu pada hari tergelincirnya kaki nanti (hari kiamat). Adakah orang-orang dekatmu bersamamu pada saat itu dan siapakah yang akan menyelamatkanmu kala itu?" Mendengar penuturan Fudhail, menangislah Umar sampai pingsan.

Umar sangat perhatian pada rakyatnya. Suatu ketika istrinya Fatimah binti Abdul Malik, menemuinya saat ia duduk di tempat shalat dalam keadaan menangis. "Mengapa engkau menangis?" Tanya istrinya. Ia menjawab, "Sesungguhnya aku telah dibebani tanggungjawab terhadap umat ini. Karenanya, aku selalu memikirkan orang-orang fakir yang merintih kelaparan, orang-orang sakit yang merintih, orang-orang miskin yang tidak menemukan pakaian, anak-anak yatim yang terlantar, orang lemah yang terdzalimi, perempuan jompo yang tidak memiliki keluarga, dan orang seperti mereka semua yang tersebar di pelosok negeri. Sedang aku radar bahwa Tuhanku akan menanyakanku tentang mereka kelak pada hari kiamat." 

Prestasinya membawa umat Islam dalam kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sungguh luar biasa. Hanya dalam waktu dua tahun kepemimpinannya prestasi ini dapat ia capai. Lalu apa rahasia kesuksesannya? Kesuksesan itu dapat ia raih karena pemahamannya tentang orientasi ke masa depan yang mengagumkan.

Wibawa dan pengaruhnya bukan hanya dirasakan kaum Muslimin raja, tetapi Louis III, pemimpin imperium Romawi; musuh dunia Islam saat itu juga mengaguminya. Ketika ia wafat, Louis berkata, "Demi Allah, telah meninggal seorang raja yang sangat adil yang keadilannya tidak ada bandingannya. Tidak patut bagi umat manusia untuk kagum pada rahib yang meninggalkan dunia untuk berkonsentrasi menyembah Allah di Sinagognya. Sesungguhnya yang harus dikagumi adalah Pria ini, yang dunia berada di kedua telapak kakinya, tapi ia zuhud darinya, padahal ia bebas sebebas-bebasnya untuk menguasainya. Dan sungguh layak bahwa ia disegerakan meninggalkan dunia. Karena orang-orang baik tidaklah diam berlama-lama bersama orang-orang yang buruk, kecuali sedikit." 

Begitulah penyelaman Umar tentang masa depan telah mengantarkannya menjadi tokoh yang sangat dikagumi ketika memimpin dunia. Bayangkanlah, kedudukan puncak di dunia tetap membuatnya tawadhu dan menangis sampai pingsan ketika mendengar nasehat tentang ancaman neraka. Wajar dengan visi yang begitu jauh ke depan hingga menjangkau kampung akhirat, ia dapat sukses memimpin dalam waktu singkat. Sebab ia memandang kecil diri dan kekuasaannya. Itu artinya ia mengundang pertolongan Allah untuk membangun negeri yang dipimpinnya. Barang siapa menghendaki dunia maka ia akan dapatkan dunia. Tapi barang siapa yang menghendaki akhirat, maka ia akan mendapatkan dunia maupun akhirat sekaligus. Wallahu’alam


Tidak ada komentar: