26 September 2008

Titipan Yang Terindah


Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa “ (QS. 25:74)

Cuplikan ayat di atas adalah doa yang banyak diamalkan oleh kaum Muslimin, yang menggambarkan betapa kita mendambakan keluarga dan keturunan penerus umat yang baik kualitasnya dalam segala hal. Sebagai orang tua, kita juga mengharapkan bahwa anak-anak kita nantinya menjadi insan yang setidaknya berkualitas sama dengan orang tuanya atau bahkan lebih baik. 

Anak adalah buah hati orang tuanya. Kehadirannya selalu ditunggu untuk meramaikan satu rumah tangga. Anak-anak adalah pelipur hati di saat duka, dan juga tambatan hati orang tuanya. Satu hal yang harus kita ingat setiap saat adalah bahwa anak merupakan amanah yang dititipkan Allah SWT kepada kita. Dia dilahirkan dalam keadaan putih bersih dan suci. Kitalah sebagai orangtua yang memberinya warna dan membentuk kepribadiannya. Dalam proses pembentukan kepribadian anak, sikap orangtua terhadap anak sangat mempengaruhi bagaimana hubungan anak dengan orangtua secara keseluruhan, termasuk di dalamnya pola asuh. Padahal, sikap orangtua sangat beragam, mulai dari kurang peduli sampai dengan yang sangat mencintai dan mencurahkan perhatian penuh kepada anak.

Jadi sikap orangtua terhadap anak mempengaruhi bagaimana orangtua memperlakukan anak, mendidik dan mengasuh anak (pola asuh), menghadapi perilaku-perilaku maupun kenakalan anak. Sikap merupakan keadaan yang menyifati hubungan orangtua terhadap anak.

Berikut ini ada beberapa tips praktis yang diharapkan dapat membantu para orangtua khususnya ibu dalam menghadapi beberapa masalah yang umum kita jumpai dalam mengasuh anak-anak kita.

Masalah yang pertama adalah komunikasi dengan anak. Komunikasi itu sendiri adalah suatu mekanisme yang menunjang kita untuk menciptakan, membina atau bahkan merusak suatu hubungan. Cara kita berkomunikasi satu dengan yang lainnya itulah yang membentuk hubungan kita dengan orang lain. Dalam hal berkomunikasi dengan anak, ada beberapa hal yang harus diingat. Yang pertama adalah bahwa perasaan seorang anak merupakan hal yang penting sekali sebagaimana pentingnya keberadaan mereka bagi kita. Jadi, kita harus mencoba untuk menyelami dan mengerti perasaan anak kita dari waktu ke waktu, dan untuk itu kita harus mendengar pendapat dan perkataan mereka. Kadang-kadang kita sebagai orangtua sering menuntut anak untuk mendengarkan dan mengikuti perkataan orangtua hanya untuk mendapatkan label ‘anak yang baik dan patuh’. Padahal anak itu sendiri mempunyai perasaan dan cara sendiri yang untuk memahaminya, dibutuhkan kepekaan orangtua. Pengenalan kita terhadap perasaan anak akan mengarah kepada perubahan yang positif pada tingkah laku anak, karena mereka merasa dihargai dan dimengerti oleh orangtuanya. Jadi, marilah kita mulai meluangkan waktu untuk mendengar anak kita, dan mengerti akan perasaannya. Dengan mengenalkan perasaan tersebut kepada anak kita, maka berarti kita telah mengajarkan kecerdasan emosi, yang akibatnya mereka merasa dihargai dan dimengerti, serta akan terhindar dari rasa frustasi yang menyebabkan tingkah laku negatif. Orangtua yang peka, mengenali, dan menghormati perasaan anak-anaknya akan menumbuhkan komunikasi yang lebih baik dengan anak dan juga memperbaiki tingkah laku anak.

Masalah kedua yang umum kita jumpai pada anak-anak kita adalah ‘tantrums’ yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan ‘mengamuk’. Mengamuk ini adalah sifat yang umum dijumpai pada anak usia pra sekolah yaitu sekitar 2 – 5 tahun. Biasanya anak-anak mengekspresikan perasaan marah dan frustasi mereka dengan bergulingan di lantai, menendang-nendang, berteriak, dan ada juga yang kadang-kadang menahan napasnya, tergantung sifat anak itu sendiri. Mengamuk ini adalah suatu proses yang alami, khususnya bagi anak-anak yang belum bisa menggunakan kata-kata untuk mengungkapkan perasaan mereka. Kebanyakan anak-anak mengamuk di tempat tertentu dan pada orang tertentu pula, misalnya di pusat perbelanjaan dan pada ibunya. Cara penanganan anak yang mengamuk ini tergantung tingkat energi yang dimiliki anak dan kesabaran orangtua menghadapinya.

Untuk mengatasi anak yang mengamuk kita sebagai orang tua harus mempelajari dan mengamati tingkah laku anak kita sehingga kita bisa melihat kecenderungan apa saja yang memicu mereka untuk mengamuk dan apa yang terjadi pada saat itu serta hal apa yang bisa membantu meredakannya. Dengan pola tersebut kita bisa mencegah terjadinya ‘tantrums’ dan kalaupun sudah terjadi kita tahu bagaimana menanggulanginya. Contoh kasus yang sederhana dan sering dijumpai adalah anak yang ngambek pada saat diajak sang ibu berbelanja. Hal yang paling mungkin terjadi adalah sang anak bosan dan terlalu lama menunggu. Yang harus diantisipasi sang ibu adalah membawa mainan atau buku kesukaan anak kita, membawa makanannya dan berbelanja yang perlu saja dengan cara membuat daftar belanja.

Cara lain untuk menghadapi ngambeknya sang anak adalah dengan mengalihkan perhatian mereka dari hal yang membuat mereka marah dan mengamuk. Atau bila sudah terlanjur ngambek kita juga harus menjaga tingkat emosi kita sehingga tidak terbawa marah dengan pura-pura mengabaikan mereka dan tidak menanggapi ngambeknya sang anak. Kita juga bisa bernegosiasi dengan anak dan melakukan ‘timeout’, yaitu menghindar sebentar untuk menata emosi kita dan anak sehingga tidak ‘meledak’. Anak juga harus diberi pilihan dan sebaiknya kita menghindari ancaman sebagai senjata menghadapi anak, sehingga anak akan belajar bahwa mereka bertanggung-jawab terhadap hal-hal yang mereka kerjakan. Memberikan pujian kepada anak juga memacu anak bertingkah laku positif, karena mereka tahu pasti dan jelas bahwa kita suka dan bangga akan sikap mereka tersebut.

Terakhir, masalah yang umum dijumpai pada anak adalah susah makan. Banyak ibu yang sudah kehabisan akal dan jurus untuk merayu anaknya makan. Hal ini terkait dengan mitos bahwa anak yang gemuk adalah anak yang sehat. Akibatnya banyak ibu yang memaksa bahkan mengancam anaknya untuk makan sehingga menciptakan suasana makan yang tidak menyenangkan dan malah dihindari oleh anak.

Berikut ini ada beberapa hal yang memicu anak susah makan, antara lain adalah kurang sabarnya orangtua menyuapi atau menunggui anak makan sehingga anak selalu dalam keadaan terburu-buru makannya. Hal lain adalah orangtua menuntut anak untuk banyak makan padahal sang anak sudah merasa kenyang. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menjelaskan bahwa makan terlalu banyak adalah perbuatan yang tidak baik dan hanya pantas bagi hewan-hewan. Anak-anak sudah mempunyai takaran sendiri, berapa kadar makanan yang diperlukan oleh tubuh mereka dan porsinya berbeda dengan orang dewasa. Suasana makan yang kurang menyenangkan juga membuat anak malas makan. Misalnya selama waktu makan orangtua mencekoki anak dengan nasihat-nasihat yang akhirnya membebani anak. Anak yang terlalu banyak jajan juga mengurangi konsumsi makan ‘besarnya’ karena anak sudah keburu kenyang. Gaya makan keluarga juga ikut mempengaruhi gaya makan anak, dan hal ini harus menjadi bahan introspeksi orangtua. Bila orangtua malas makan, anaknya tentu akan meniru kebiasaan orangtuanya dan orangtua tidak bisa memaksa anak untuk merubahnya karena anak hanya mencontoh kebiasaan orangtuanya.

Mendidik anak berlangsung setiap hari, setiap saat, setiap detik. Tulisan ini hanya mengulas sedikit sekali tentang peristiwa besar yang setiap saat dialami oleh buah hati kita. Semoga Allah SWT selalu memberi kita kesabaran dan petunjuk dalam mengasuh dan mendidik anak-anak kita menjadi insan yang taqwa. Sesungguhnya anak adalah titipan terindah yang diamanahkan kepada kita, hal ini juga selalu mengingatkan kita untuk berbakti kepada kedua orangtua kita. 

(Dikutip dari “Salahnya Kodok” oleh Mohammad Fauzil Adhim dan “Tips and Ideas on Parenting Skills”, NSW Parenting Program for Mental Health) [oOo]

*) Diterbitkan di Buletin Jumat KPII, Edisi No. 11, 9 April 2004


Tensofales


Tensofales 


Tidak peduli seberapa berbakatnya orang, tidak peduli seberapa kompetennya orang, tidak peduli seberapa unggulnya sebuah produk, keberhasilan sulit diraih tanpa keterampilan berkomunikasi.

Tidak diragukan lagi, Rasulullah SAW adalah komunikator terbaik yang ada. Bayangkan, Rasul mampu mempengaruhi jutaan orang hingga 15 abad setelah wafatnya. Kata-kata beliau sangat efektif, menyentuh, mengubah, serta diungkapkan dalam bahasa yang ringan, padat dan jelas. 

Ada satu kisah terkenal. Suatu ketika datanglah seorang pemuda untuk masuk Islam. Namun, di sela-sela keinginan tersebut, ia meminta agar Rasulullah SAW tetap mengizinkannya untuk berzina. Marahkan Rasul? Ternyata tidak. Dengan bijak, beliau mengajak pemuda itu dialog. 

Wahai anak muda, mendekatlah!” ujar Rasul. Pemuda itu kemudian mendekat. Kemudian beliau bersabda, “Duduklah!” Maka pemuda itu pun duduk. 

Sukakah kalau itu terjadi pada ibumu?
Dia menjawab, Tidak. Demi Allah Demikian pula manusia seluruhnya tidak suka zina itu terjadi pada ibu-ibu mereka;. 

Beliau bertanya lagi, Sukakah kalau itu terjadi pada anak perempuanmu?
Pemuda itu menjawab seperti tadi. Demikian selanjutnya Beliau bertanya jika itu terjadi pada saudara perempuan dan bibinya.

Rasulullah SAW meletakkan tangannya yang mulia di atas bahu pemuda itu sambil berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati pemuda ini. Ampunkanlah dosanya dan peliharakanlah dia dari melakukan zina Sejak peristiwa itu, tidak ada perbuatan yang paling dibenci oleh pemuda itu selain zina.

Rasulullah SAW mampu menaklukkan lawan bicara tanpa menyakiti. Beliau tetap hormat dan menghargai sang pemuda, walau permintaannya kurang etis. Beliau mampu berempati, sehingga tidak terucap kata-kata menyalahkan. Pesan yang disampaikan pun sangat mudah dimengerti. 

Mengapa beliau mampu menjadi seorang komunikator terbaik? Setidaknya ada tiga rahasia kesuksesan komunikasi beliau. 

Pertama

Rasul memiliki gaya bicara yang menawan. Gaya bicara Rasul terangkum dalam rumus TENSOFALES. Bicaranyatenang, sopan, fasih, apik, lemah lembut dan secukupnya. Kesempurnaan gaya bicara Rasul sangat dipengaruhi kecerdasan beliau sebagai utusan Allah (fathanah).

Mengapa harus tensofales? Setiap utusan Allah harus siap adu argumen dengan para penentangnya. Harus menjawab pertanyaan-pertanyaan umatnya. Serta harus menghadapi pemikiran dan pelecehan orang-orang munafik. Karena itu, kecerdasan, kekuatan argumen, serta kefasihan beliau harus mengungguli kaum yang didakwahinya. Jika tidak, semua yang disampaikan akan mudah dipatahkan dan diingkari.

Beliau pun diutus pada masyarakat yang memiliki latar belakang ilmu, status sosial, dan spesialisasi berbeda. Ada tokoh agama, politikus, pedagang, orang kaya, fakir miskin, preman, budak, dsb. Semuanya harus diberi argumen agar bisa menerima Islam. Allah SWT berfirman, (Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS An Nisaa' [4]: 165).

Kedua

Isi (content) komunikasi beliau terjamin kebenarannya. Secerdas dan sefasih apa pun orang, tidak akan bertahan lama jika yang diungkapkannya tidak BAL. Yaitu benar, akurat dan lengkap. Ajaran beliau terjamin kebenarannya, tidak berbelit-belit dan rancu, universal serta memenuhi standar kesempurnaan. Setiap ajaran yang tidak sempurna, argumennya pasti akan kabur, lemah, mentah dan mudah dipatahkan. Karena itu, ajaran beliau bisa diterima semua kalangan, masuk akal, menenangkan, dan tidak dibuat-buat. Ada cerdik pandai yang berusaha mencari-cari kelemahan ajaran Rasulullah SAW, namun tak satu pun yang berhasil menemukannya. 

Ketiga

Rasul memiliki kredibilitas. Beliau adalah orang tepercaya (Al 'Amin). Pemuda itu berani meminta izin untuk berzina, karena ia percaya bahwa Rasul adalah sosok yang jujur dan bisa memberikan solusi. Tidak mungkin ada jalinan komunikasi efektif bila orang tidak lagi saling percaya. Beliau pun tidak pernah menganjurkan sesuatu, kecuali telah mengamalkannya terlebih dahulu.

Keempat

Rasul bicara dengan melibatkan hati. Semua perkataan Rasul keluar dari hati yang bersih (qalbun saliim). Hati penuh kasih sayang, kedamaian, dan bersih dari penyakit. Karena itu, kata-katanya memiliki “ruh” sehingga mampu melembutkan hati sekeras batu. Kepintaran dan gaya bicara yang menawan hanya akan menyentuh akal. Hati hanya bisa disentuh dengan untaian kata yang keluar dari hati pula. “Bersihkan dengan segala apa yang kamu bisa, karena Allah telah mendirikan Islam ini di atas kebersihan, dan tidak akan masuk surga melainkan orang-orang yang bersih,” demikian pesan beliau. Wallaahu a'lam. 

( KH Abdullah Gymnastiar )

Mengendus Kebohongan Lawan Bicara


Mengendus Kebohongan Lawan Bicara

KapanLagi.com - Kadang kala Anda merasa curiga kalau-kalau orang yang Anda ajak bicara itu berbohong pada Anda. Bagaimana Anda bisa mengetahui kebenarannya? Pasti ada suatu cara untuk mengetahui apakah mereka berbohong di mana Anda akan bisa memahami kebohongannya tersebut.

Dalam percintaan, kehidupan bisnis, dan politik, sangat penting sekali untuk dapat mengidentifikasi perbedaan antara kebohongan dan kejujuran. Sebenarnya, sangat sulit untuk mengetahui apakah seseorang itu berbohong atau tidak. Beberapa orang bisa berbohong dengan amat mudah seperti mereka mengatakan hal sebenarnya. 

Namun, Anda harus mampu memahami apakah seseorang yang berbicara dengan Anda itu berbohong atau tidak. Kalau tidak, Anda akan mudah ditipu oleh orang lain. Satu masalahnya adalah bagaimana cara Anda tahu mereka berbohong atau tidak?

Sebenarnya ada beberapa cara yang signifikan untuk mengetahui seseorang berbohong atau tidak. Anda harus melihat bahasa tubuh mereka. Beberapa tanda seperti gugup, melihat ke arah lain, terlalu banyak mengedipkan mata, atau terlihat cemas mengindikasikan bahwa seseorang itu berbohong.

Cara untuk Melihat Kebohongan Seseorang

Pengetahuan akan bahasa tubuh sangatlah penting untuk mengetahui apakah seseorang berbohong atau tidak. Inilah beberapa tanda untuk membantu Anda mengindikasikan kebohongan:

-Anda akan melihat bahwa orang yang berbicara pada Anda menghindari kontak mata. Matanya akan lebih sering berkedip atau berputar ke arah lain. Hal ini mengindikasikan kondisi mental yang tidak nyaman.

-Orang itu menunjukkan kebingungan saat berbicara. Saat dia berbohong, dia akan memikirkan tentang kesalahannya pada waktu yang sama. Hal ini akan mengganggu perhatiannya dalam percakapan tersebut.

-Seorang pembohong sering kali bicara dengan sangat cepat atau dalam kalimat-kalimat pendek. Dia mencoba untuk menyudahi situasi itu secepat mungkin.

-Jika Anda mengawasi bahasa tubuh pembohong dengan cermat, Anda akan melihat bahwa bahasa tubuhnya seperti bentuk proteksi diri. Orang itu mencoba untuk melindungi diri sendiri dengan tindakan tertentu seperti mundur ke belakang, menyilangkan lengannya, atau meremas tangan.

-Pembohong berpura-pura kebingungan dalam percakapan. Dia menciptakan kebingungan tersebut sehingga dia bisa mendengar pendapat orang lain dan menyetujui mereka.

-Kadang kala, pembohong menunjukkan perilaku yang berkebalikan. Dia ingin berkata tidak tapi dia menganggukkan kepalanya. 

-Biasanya, pembohong tidak siap untuk mengatakan kebohongan tersebut. Saat dia berbohong mengenai sesuatu, hal itu tidak direncanakan sebelumnya. Karena itu, jika Anda menanyakan sesuatu tentang detailnya, maka dia tidak akan mampu menjawab pertanyaan Anda dengan tepat. Dia akan kebingungan dan kehilangan konsistensi percakapannya.

-Tawa yang berlebihan dan rasa setia kawan berlebihan bisa menjadi tanda penting kebohongan. Pembohong itu ingin berpura-pura menunjukkan bahwa dia adalah teman Anda, sehingga Anda akan mulai mempercayainya.

-Cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan Anda untuk menentukan apakah seseorang berbohong atau tidak adalah dengan mendengarkan dengan baik. Jika Anda mendengarkan dengan baik apa yang dikatakannya, maka Anda dapat dengan mudah menemukan ketidakkonsistenan dalam pembicaraannya. Inilah salah satu cara efektif untuk mengetahui apakah mereka berbohong atau tidak.

-Juga terlihat jelas apabila seseorang mengatakan kebohongan, dia cenderung akan memberikan penjelasan yang tidak penting. Dia akan memberi terlalu banyak detail tentang situasinya.

-Saat pembohong mengetahui bahwa pendengarnya tahu akan kebohongannya, dia akan segera merasa tersinggung. Hal yang sama terjadi dalam kasus percakapan melalui telepon. Orang yang berbohong cenderung menutup telepon atau cepat-cepat mengubah topiknya. 

Dengan mengetahui tanda-tanda ini, Anda akan dengan mudah memahami apakah seseorang berbohong atau tidak dan melindungi diri Anda agar terhindar dari tipuan.

Presentasi Efektif


Presentasi Efektif

Pendahuluan

Presentasi merupakan salah satu cara dalam upaya menjelaskan sesuatu topik atau bahasan tertentu dengan menggunakan (multi) media dalam waktu yang relatif singkat. Media yang dimaksud dapat berupa media tulisan, visual, verbal atau gabungan dari berbagai media (multi-media). Dengan kata lain, presentasi mestilah bertujuan untuk menyampaikan atau menjelaskan sesuatu bahasan dengan menggunakan alat peraga yang menyebabkan pembahasan tersebut menjadi sistematis, menarik dan mudah dimengerti.

Dalam dunia pendidikan orang dewasa, presentasi merupakan cara yang paling banyak digemari oleh para instruktur (pengajar) karena pendekatan tersebut dapat dengan mudah dan efektif menjelaskan bahasan-bahasan yang kompleks dan rumit sedemikian rupa sehingga kegiatan belajar-mengajar menjadi tidak membosankan dan melelahkan.

Persiapan presentasi

1. Hal yang paling awal untuk dipersiapkan untuk melakukan presentasi adalah meyakinkan diri dengan pertanyaan berikut:

 Bahasan atau tema apa yang akan saya sampaikan ?

 Seberapa luas cakupan bahasan yang harus saya sampaikan dan berapa waktu yang tersedia ?

 Dapatkan saya membuat daftar poin-poin utama dari seluruh bahasan yang akan saya sampaikan ?

 Sudahkan saya mendapatkan cukup bahan (informasi) untuk mensupport bahasan yang akan saya sampaikan, seperti: data, argumentasi, contoh, dalil, kasus dsb ??

2. Mengetahui medan presentasi: siapa dan bagaimana karakteristik audience, berapa jumlah mereka, bagaimana struktur kelas dan tata ruang yang tersedia, fasilitas presentasi yang ada, serta waktu presentasi. Dengan mengetahui medan ini, paling tidak ada kesiapan antisipatif baik psikologis maupun teknis.

3. Menyiapkan alur dan struktur bahasan dengan mempertimbangkan waktu yang tersedia. Sebaiknya dilakukan persiapan rancangan alur pembahasan dalam draft yang ditulis dalam satu lembar kertas. Rancangan ini membantu menjaga sistematika dan efisiensi presentasi, sehingga tidak ‘terjebak’ membahas sesuatu yang jauh melenceng dari topik bahasan.

4. Menentukan cara dan media yang akan digunakan. Pada intinya, gunakanlah cara dan media yang paling komunikatif dan mudah difahami. Bila topik bahasan seputar konsep-konsep dan pengertian, maka pendekatan verbal menjadi pilihan yang memadai. Membuat makalah yang sistematis, jelas urut-urutan dan poin-poin bahasan menjadi tuntutan pokok. Apalagi bila disertai dengan ringkasan makalah yang disajikan di awal atau di akhir bahasan. Bila pokok bahasan menyangkut suatu kajian sebab-akibat, atau suatu proses (kejadian) pendekatan visual dengan gambar-gambar grafis yang relevan akan sangat membantu mempercepat pemahaman peserta didik.

Kiat-kiat Presentasi yang menarik

Agar presentasi menarik, hendaknya dilakukan hal-hal berikut:

1. Structure. Hendaknya bahan yang akan disampaikan tersusun secara sistematis dengan alur yang jelas dan mudah difahami. Bila bahan yang akan disampaikan sangat padat dengan masalah konsepsional dan teoritis, susunlah dengan bentuk sebagai berikut:

a. Pengantar:  

 membangkitkan perhatian dan minat peserta

 memaparkan ikhtisar materi bahasan

b. Bagian utama:  

 sejumlah judul utama (main points)

 beberapa sub judul

c. Kesimpulan:  

 butir-butir atau catatan penting

 diskusi dan pertanyaan

2. Simple. Sampaikan penyajian dengan mudah dan tidak berbelit-belit. Hindari istilah-istilah yang sulit difahami, Gunakan kalimat-kalimat yang pendek, jelas dan bervariasi. Penyajian jadi sangat membosankan apabila penyaji sering menggunakan istilah-istilah yag berulang-ulang.

3. Surprise. Kesuksesan penyajian seringkali tergantung di titik awal penyampaian. Apabila kesan pertama penyajian menggoda, maka selanjutnya menjadi terserah anda. Oleh karena itu mulailah penyajian bahasan dengan sesuatu yang mengejutkan, memancing perhatian atau mengundang minat dan keseriusan. Gunakan kasus, data, gambar, games ataupun cerita mengenai sesuatu yang relevan dengan topik bahasan.

4. Support. Penyajian akan sangat menarik dan meyakinkan serta mudah difahami apabila disertai dengan ilustrasi dan hala-hal yang menunjang. Lengkapilah setiap sub bahasan dengan ilustrasi yang memadai dan relevan dalam bentuk kasus, contoh aplikatif, data dan fakta, dalil.

5. Shape. Penyajian akan menjadi enak dilihat apabila disampaikan dengan model tampilan hand out, skema, matriks atau grafis yang yang jelas, mudah dan menarik. Bentuk ini akan mempermudah pemahaman pada topik-topik bahasan yang padat dan kompleks.

6. Style. Gaya menyampaikan sungguh akan mempengaruhi keberhasilan penyampaian. Bila penyaji hanya duduk dan berbicara dengan nada yang datar atau monoton tentu akan sangat membosankan. Sebaiknya gaya penyampaian dilakukan dengan berbagai variasi gaya: kadang duduk, berdiri, jalan, menyapa dengan nada bicara yang ekspresif serta penuh semangat.

7. Smart-smile. Penampilan yang menarik hendaknya juga dipertimbangkan dalam menyampaikan sesuatu kepada sejumlah pendengar. Seringkali kesan pertama penyajian justeru muncul dari penampilan fisik si penyaji: pakaian, kerapihan dan kebersihan serta wewangian. Penampilan yang menarik akan menjadi optimal manakala dalam proses penyampaian, tercipta hubungan dan suasana yang interaktif antara penyaji dan pendengar. Munculkanlah suasana akrab dan hangat melalui teguran, sapaan, senyuman, pertanyaan, meminta tanggapan ataupun komentar mereka.

8. Show. Usahakanlah menggunakan media dan atau alat peraga yang memadai. Apakah dalam bentuk makalah, hand-out, flipp chart, papan tulis, transparancy-sheet, slide. Artinya, jangan hanya menggunakan lembar text-book yang merupakan bagian dari referensi yang digunakan.

9. Stop. Berhenti sejenak dengan joke atau selingan-selingan segar untuk memelihara konsentrasi dan perhatian pendengar, terutama apabila bobot topik bahasan berat dan sulit.

10. Summarize. Menentukan akhir presentasi yang mengesankan. Kiat menutup presentasi menjadi sangat menentukan keberhasilan menyampaikan bahasan. Presentasi hendaknya diakhiri dengan merangkum kembali secara utuh pokok bahasan yang telah disampaikan, sambil terus memberi kesempatan kepada audience untuk memperjelas hal-hal yang terlewat.

Penutup

Presentasi atau penyajian suatu topik bahasan pada intinya adalah seni untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada pendengar dengan tujuan agar mereka dapat dengan mudah memahaminya. Oleh karena itu keberhasilan presentasi selain ditentukan oleh keterampilan berbicara di depan publik dengan segala kreativitas dan gaya penyampaian, juga dipengaruhi oleh pengalaman atau jam terbang yang telah dikantongi presenter. Selain itu, kemauan dan kemampuan mempelajari metode-metode yang berkembang ataupun melihat, memperhatikan dan mempelajari orang-orang yang piawai dalam penyajian juga menjadi faktor penentu bagi kesuksesan presentasi.

Cara menumbuhkan empati


Cara menumbuhkan empati

Kita membutuhkan dua kaca sekaligus, yaitu kaca cermin dan kaca jendela. "Kaca Cermin" menggambarkan sikap egosentris, melihat persoalan hanya dari sudut pandang diri sendiri. Sedangkan "Kaca Jendela" merupakan cara mengetahui dan melihat kepentingan orang lain, di samping diri sendiri. Kita harus mengangkat sebagian kaca cermin dan menggantinya dengan kaca jendela. Melalui kaca jendela, seseorang tidak lagi melihat dirinya sendiri, tetapi mereka juga melihat orang lain di sekitarnya dengan berbagai kebutuhannya. Mengubah kaca cermin dengan kaca jendela adalah langkah penting agar perhatian seseorang tidak hanya tertuju ke dalam (self centered), melainkan tertuju ke luar kepada orang lain sehingga ia mudah merasa iba kepada orang lain (extra centered sensitivity).

Khalifah Umar bin Khattab merupakan salah satu tipe orang yang berusaha mengerti kondisi rakyat yang dipimpinnya. Disebutkan ia kerap memasuki pelosok-pelosok kampung yang termasuk wilayah kekuasaannya. Ini dilakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Ia pun mengangkut sendiri karung berisi gandum untuk diberikan pada wanita tua yang mempunyai anak-anak yatim. Umar melihat wanita itu memasak batu untuk menenangkan anaknya yang menangis karena lapar. Umar bahkan pernah berujar, "Saya khawatir dimintai tanggung jawab di akhirat, jika ada seekor keledai mati di Syam karena kekeringan." Itulah jangkauan empati dan kepedulian Umar bin Khattab ra.

Begitulah empati. Empati sering juga disebut dengan kepedulian. Yakni kesanggupan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain, kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Peduli atau empati tak berhenti sampai di situ, tapi dilanjutkan dalam tahap menanggapi dan melakukan perbuatan yang diperlukan orang lain. Persis sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Jalinan kasih sayang antara kaum muslimin ibarat satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan merasakan hal yang sama." (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk dapat bersikap peka dan peduli dibutuhkan tingkat kematangan kepribadian tertentu. Para pakar ilmu komunikasi dan pendidikan menilai bahwa kepedulian atau empati merupakan kata kunci dalam tahap akhir kecerdasan emosional. Sebabnya antara lain, karena untuk berempati kita harus mampu mengobservasi dan melibatkan banyak panca indera.

Ada dua modal dasar yang harus dimiliki oleh seseorang agar memiliki empati. Psikolog Michael Nichols dari Albany Medical College menyebutkan, dua modal itu adalah "mengerti dan menerima". Pengertian dan penerimaan sangat penting bila seseorang ingin menunjukkan kepeduliannya. Mengerti apa yang dirasakan orang lain, dapat melihat masalah dari sudut pandang mereka dan menerima keadaan itu.

Ada beberapa langkah praktis agar kita bisa belajar menanamkan rasa empati dan peduli:

Pertama, kenali perasaan sendiri. 

Prosesnya adalah dengan meraba dan menghayati berbagai perasaan yang berkembang dalam diri seperti sedih, gembira, kecewa, bangga, terharu dan sebagainya. Mengenali perasaan sendiri merupakan bagian dari tuntutan kecerdasan emosi. Orang yang mengenali perasaan diri, biasanya mampu mengendalikan emosinya, sehingga ia tidak melakukan tindakan gegabah saat mendapati kenyataan di luar dirinya yang berbeda dengan keinginannya.

Kedua, sediakan waktu menyendiri untuk berpikir apa yang telah terjadi. 

Ini sebenarnya termasuk proses pengenalan dan pengendalian emosi. Karena biasanya orang sulit mempunyai gambaran jernih terhadap suatu persoalan dalam kondisi emosi yang bermacam-macam. Pasangan suami isteri umumnya merasa lebih empati satu sama lain ketika mereka sendirian dan memikirkan pasangan mereka. Rasa bersalah biasanya muncul saat mengemudikan mobil seorang diri ke tempat kerja, di masjid saat tafakkur, menjelang tidur, saat shalat malam dan sebagainya. Dalam waktu-waktu tersebut, seseorang mempunyai waktu untuk memikirkan kembali berbagai masalah yang ia alami. Selanjutnya, memulai yang lebih baik dengan memperbaiki terlebih dulu dirinya, sebelum menuntut orang lain berlaku baik kepadanya.

Ketiga, cobalah memandang masalah dari sudut pandang orang lain. 

Empati adalah ketika kita dapat merasakan, apa yang orang lain rasakan dan juga dapat melihat masalah dari sudut pandang mereka. Masukilah dunia mereka dan cobalah memandang masalah dari sisi tersebut. Dengan demikian, pihak lain tidak saja hanya merasa dimengerti tapi ia merasa lebih disukai. Dalam hal ini, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan hendaknya seseorang memberi 70 alasan udzur atas kesalahan yang dilakukan oleh saudaranya. Artinya, seseorang diminta untuk berusaha sebanyak mungkin memandang sesuatu yang tak mengenakkan itu dari sudut pandang pelakunya. "Bila engkau tetap tidak menerima 70 alasan tersebut, katakanlah pada dirimu: "Kasar sekali engkau, 70 alasan telah diajukan oleh saudaramu, tapi engkau tetap tidak menerimanya. Engkaulah yang bersalah, bukan saudaramu…" (Raudhatul Muhibbin, 11470). Dengan memahami sikap ini, memaksakan kehendak bisa dihindari. Banyak kekacauan muncul, karena adanya pemaksaan kehendak dan kurangnya upaya memahami.

Keempat, jadilah pendengar yang baik. 

Kita lebih mudah merasa empati, memahami perasaan orang lain dan menempatkan diri dalam keadaan orang lain, kalau kita dapat mendengar apa yang dialami orang tersebut. Tidak hanya kemampuan mendengarkan secara seksama, tapi juga membaca isyarat-isyarat non verbal. Sebab, seringkali bahasa tubuh dan tekanan suara lebih efektif menggambarkan perasaan ketimbang kata-kata. Orang tua misalnya, harus mampu meningkatkan kemampuan "mendengarkan" suara hati anak-anaknya. Anak-anak pun harus belajar "mendengarkan" lingkungannya, agar ia bisa terampil dalam kehidupan sosial. Anjuran mendengarkan berarti mengajak kita membuka pintu komunikasi dengan berbagai obyek. Informasi yang diterima dari banyaknya komunikasi itulah yang akan menjadikan kita bisa memahami dan mengerti.

Kelima, biasakan menghayati fenomena berbagai hal yang kita jumpai. 

Misalnya, saat kita melihat seorang tunanetra di tengah keramaian, nyatakan dalam hati betapa sulitnya orang itu memenuhi kebutuhannya. Langkah ini biasanya berlanjut dengan kesanggupan menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Ketika mendapati anak-anak yang mengamen di jalanan hingga larut malam, misalnya. Katakanlah pada diri sendiri, bagaimana jika mereka itu adalah anak-anak kita. Jika menyaksikan himpitan rumah gubuk di pinggiran rel kereta, bayangkanlah bila keadaan itu dialami oleh keluarga kita. Dan seterusnya. Setiap muslim harus memiliki sikap seperti ini. Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang tidak peduli dengan nasib urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan kaum muslimin, " (HR Thabrani).

Keenam, berlatih mengatur dan mengatasi gejolak emosi dalam menghadapi reaksi positif maupun negatif. 

Di sekitar kita, banyak peristiwa yang bisa menyulut gejolak emosi. Di rumah, seorang suami bisa saja menemui segala macam hal yang berantakan. Seorang istri mendapati suaminya tak banyak memberi nafkah. Di jalanan seorang sopir bisa menemui banyak peristiwa yang memanaskan. Dalam segala kondisi, berupaya mengendalikan emosi merupakan perjuangan berat, tapi itu perlu.

Rasulullah adalah pribadi yang sangat lembut dan empati terhadap isterinya. Saat Aisyah ra jatuh sakit akibat beredarnya kabar bohong (haditsul ifki) yang menuduhnya berselingkuh, Rasulullah saw menyempatkan diri menjenguk Aisyah di rumah orang tuanya, Abu Bakar ra. Di sana Rasul menenangkan Aisyah. Sementara itu, Utsman ra lebih dulu merawat isterinya Ruqayyah yang jatuh sakit, meski saat itu ia sangat menggebu untuk terlibat di medan jihad.

Ketujuh, latihan berkorban untuk kepentingan orang lain. 

Sebuah studi di Harvard University, Amerika Serikat, menunjukkan adanya keterkaitan yang jelas antara besarnya tanggung jawab seorang anak, dengan kecenderungan bersedia mementingkan orang lain. Empati sangat berhubungan dengan kesediaan berbuat baik (altruisme). Empati yang tinggi memperbesar kesediaan untuk menolong, untuk berbagi dan berkorban demi kesejahteraan orang lain. Kesanggupan untuk berempati sendiri adalah kesanggupan yang ada pada tiap orang. Islam juga menganjurkan orang yang memasak sayuran memperbanyak kuahnya untuk diberikan pada tetangga. Biasakan mensyukuri nikmat Allah, apapun bentuknya, dengan memberi sebagian dari apa yang kita miliki untuk orang lain, terutama yang membutuhkan. 


25 September 2008

Memilih sekolah untuk anak


Memilih sekolah untuk anak

oleh Rika Yuana Kusumah Dewi 

Tiap orangtua tentu akan berusaha memberikan pendidikan yang terbaik buat putra-putrinya bahkan sejak usia prasekolah. Peranan pendidikan prasekolah dianggap makin penting karena diyakini bisa memberikan landasan yang kuat untuk tingkatan sekolah selanjutnya. 

BELAKANGAN ini, di Indonesia ada banyak sekali tawaran program pendidikan bagi anak-anak usia prasekolah, seperti kelompok bermain (play group) dan taman kanak-kanak (TK). Orangtua harus memilihkan anaknya pendidikan prasekolah yang tepat. Karena, jika keliru memilih tempat, tak hanya berarti kerugian secara finansial, juga risiko mempertaruhkan anak menghadapi masa depannya. Lalu, bagaimanakah memilih tempat pendidikan prasekolah yang tepat yang sesuai dengan keinginan dan juga kemampuan keuangan keluarga? 

Berikut ini adalah beberapa pertimbangan praktis dalam memilih prasekolah yang tepat. Sebelum memutuskan memilih tempat pendidikan prasekolah, orangtua bisa mempertanyakan beberapa hal berikut.

* Kurikulum yang digunakan. Apakah kurikulum yang digunakan sudah tepat? Sudahkah program dalam kurikulum yang diterapkan terarah sesuai dengan kelompok umur, berdasarkan minat anak sehingga dapat meningkatkan perkembangan fisik, intelektual, sosial emosional dan kemampuan berkomunikasi untuk mengemukakan pendapatnya. Sebaiknya kegiatan dirancang dengan konsep "belajar sambil bermain" sehingga anak-anak dapat betah "belajar", dan merangsang keterlibatan anak secara aktif dalam segala aktivitas sehingga dapat meningkatkan kemandirian anak.

* Adanya Rancangan Aktivitas yang menarik dan patut. Sebaiknya aktivitas anak dirancang sebagai pelaksanaan dari rencana program yang telah disebutkan di atas. Aktivitas harus bervariasi sehingga anak-anak tak merasa cepat bosan. Tiap aktivitas seharusnya dilengkapi alat bantu/peraga yang menarik bagi anak. Misalnya untuk pengenalan huruf dan angka, sebaiknya menggunakan balok-balok huruf dan angka yang berukuran agak besar dengan warna-warni. Anak-anak dibiasakan mengikuti pembacaan cerita oleh guru untuk merangsang minat baca anak. Buku cerita sebaiknya bergambar jelas dengan warna menarik. Aktivitas lain yang biasa diberikan untuk mencegah kebosanan anak, antara lain memasang balok-balok (lego), melukis, bernyanyi, menari yang diiringi lagu/musik, bermain komputer dan menonton (video) program anak-anak. Anak-anak juga perlu diajak bermain di luar ruangan seperti menggunakan ayunan, prosotan, bermain air dan pasir. Jenis mainan harus sesuai dengan kelompok umur agar tidak membahayakan.
* Lama sekolah. Pengalaman menunjukkan, makin pendek waktu sekolah anak dan/atau makin jarang mereka mengikuti program dalam seminggu, makin stres anak mengikuti program prasekolah. Ini terjadi karena secara psikologis anak mengalami proses adaptasi dengan lingkungan sekolahnya setelah hampir seharian penuh di rumah bersama orangtua atau pengasuh. Proses adaptasi ini perlu waktu yang tak cepat sesuai dengan pribadi masing-masing anak. Hanya sedikit anak yang dapat cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Faktor yang menghambat proses adaptasi anak dalam aktivitas prasekolah adalah rasa kedekatan yang berlebihan dengan orangtua atau pengasuhnya. Anak umumnya minta ditunggui pada saat mengikuti prasekolah. Tak jarang orangtua atau pengasuhnya harus ikut masuk kelas menunggu si anak. Proses berpisah antara anak dengan orangtua atau pengasuh pada saat mengikuti prasekolah inilah yang sangat menghambat keberanian dan kemandirian anak.

Jika program pendidikan prasekolah hanya dilaksanakan dalam waktu 2 jam sehari, maka pada saat naluri keberanian anak mulai muncul ternyata anak sudah harus pulang karena bel tanda pulang sudah berbunyi. Demikian juga halnya dengan program prasekolah yang hanya tiga kali seminggu menyebabkan anak harus mengulangi proses adaptasinya tiap kali datang ke sekolah karena kemarinnya seharian anak bersama orangtua atau pengasuh di rumah. Kedua hal di atas akan menghambat keberanian anak sehinggga kelihatannya tak ada kemajuan yang menyenangkan terhadap keberanian dan kemandirian anak. Hal ini seringkali memusingkan dan membuat para orangtua frustrasi dan menganggap si anak belum siap untuk mengikuti program prasekolah.

Kalau program prasekolah dibuat lebih lama dan rutin, misalnya 4 jam dalam sehari selama 5 - 6 kali seminggu, maka anak akan lebih mudah mengikuti program yang direncanakan dan lebih leluasa mengekspresikan dirinya, karena mereka sudah melewati masa adaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Belajar dari pengalaman bahwa sampai kurun waktu tertentu, anak justru tidak mau pulang karena mereka telah "menemukan" dirinya dalam lingkungannya, yaitu punya teman bermain dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya (guru-guru). Anak pada kondisi ini sudah mulai bisa menguasai dirinya sendiri, punya rasa percaya diri yang pada akhirnya anak akan berani dan mandiri. Hal ini akan dapat dicapai apabila didukung oleh program-program yang menarik yang mampu merangsang anak untuk tergabung dan larut dalam kelompoknya.

* Rasio jumlah guru dan anak. Rasio antara jumlah guru dan anak sangat ditentukan usia anak. Jika tempat prasekolah itu menyediakan fasilitas penitipan bayi, maka rasio yang baik adalah satu orang pengasuh menangani maksimum empat bayi (0-2 tahun). Jumlah bayi dalam satu kelompok berkisar 8-10 bayi. Agar efektif, satu kelompok terdiri dari 10 bayi dan diasuh oleh 3 orang pengasuh. Untuk program Kelompok Bermain/Playgroup (2-4 tahun), maksimum rasionya adalah satu guru menangani 10 anak. Satu kelas yang efektif berisi 20-25 anak, diasuh 2 guru dan seorang asisten. Sedangkan untuk TK (5-6 tahun), rasio ideal adalah satu guru menangani 10 anak. Untuk dapat efektif, jumlah anak maksimum tiap kelas TK adalah 25-30 anak (tergantung besar/kecilnya ruangan yang digunakan), diasuh 2 guru dan seorang asisten. 

* Kenyamanan dan keamanan anak. Perhatikan fasilitas yang dimiliki seperti gedung, ruang kelas, sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas anak seperti media pengajaran dan tempat untuk bermain. Walau tidak selalu harus memilih sekolah dengan gedung bagus, namun aspek nyaman, bersih, indah dan aman harus terdapat di sekolah yang akan kita pilih. Telitilah media pengajaran yang dipergunakan seperti buku-buku dan alat bantu belajar lainnya. Perhatikan alat permainan yang dimiliki — aktivitas dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan (outdoor)
– apakah sudah sesuai dengan harapan? Aspek keamanan dan kenyamanan dalam aktivitas anak sangat penting diperhatikan untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Misalnya untuk aktivitas outdoor, apakah dilakukan di atas tanah yang telah ditanami rumput atau diatas pasir putih atau ditutup dengan karpet untuk mengurangi efek benturan seandainya ada anak yang terbentur ke tanah akibat terjatuh dari tempat mainannya? Perhatikan pula jenis mainan yang disediakan, ukuran dan bahan yang digunakan harus aman dan tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan anak.
* Kenali Guru yang akan mendidik anak kita karena ini terkait dengan figur atau model kedua yang sedang diamati oleh sang anak. Usahakan untuk memilih sekolah dengan Guru yang memiliki karakter baik dan kuat. Selain itu, kenali juga lingkungan sekolahnya karena iklim sekolah akan berpengaruh juga terhadap anak-anak kita. 

* Penerapan disiplin. Guru atau pengasuh sebaiknya memakai pendekatan positif dalam memberikan pengarahan dan menerapkan disiplin terhadap anak. Memberikan contoh kepada anak adalah cara yang terbaik sehingga anak-anak tidak akan merasa stres dan terbebani untuk mengikuti disiplin yang ditetapkan.

* Pemeriksaan kesehatan. Kesehatan anak berpengaruh besar tehadap perkembangan anak. Carilah kejelasan, apakah tempat prasekolah itu menyediakan sarana pemeriksaan kesehatan secara rutin oleh tenaga medis (dokter/perawat).

* Program kunjungan. Kunjungan ke tempat-tempat yang menarik dan penting akan menambah wawasan bagi anak-anak anda. Apakah kunjungan tersebut dilakukan secara berkala dan terorganisasi dengan baik? Apakah diperlukan persetujuan orangtua untuk mengikutsertakan anak mereka dalam kegiatan ini dan bagaimana peranan orangtua dalam kegiatan ini? Apakah perlu mambayar untuk kegiatan ekstra atau biayanya sudah termasuk dalam uang sekolah?

* Perbedaan budaya dan agama. Perlu ditanyakan apakah sekolah/guru akan memberikan perlakuan yang sama terhadap semua anak? Ini penting untuk meyakinkan bahwa semua anak akan memperoleh perhatian dan perlakuan yang sama dengan menghargai perbedaan agama dan latar belakang budaya. Ini barangkali juga akan diperlukan bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di luar negeri. 
Sejumlah informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih tempat pendidikan prasekolah yang terbaik bagi anak. Tentunya harus tetap memperhatikan kondisi keuangan keluarga karena makin berkualitas fasilitas dan program yang ditawarkan maka makin mahal biayanya.


7 Kecerdasan dan sekolah


7 Kecerdasan dan sekolah

Di dalam buku Frames of Mind yang terbit tahun 1983, seorang psikolog bernama Howard Gardner menyimpulkan hasil risetnya yang mengatakan bahwa sedikitnya ada tujuh jenis kecerdasan:
Kecerdasan linguistik, berkaitan dengan kemampuan bahasa dan penggunaannya. Orang-orang yang berbakat dalam bidang ini senang bermain-main dengan bahasa, gemar membaca dan menulis, tertarik dengan suara, arti dan narasi. Mereka seringkali pengeja yang baik dan mudah mengingat tanggal, tempat dan nama.
Kecerdasan musikal, berkaitan dengan musik, melodi, ritme dan nada. Orang-orang ini pintar membuat musik sendiri dan juga sensitif terhadap musik dan melodi. Sebagian bisa berkonsentrasi lebih baik jika musik diperdengarkan; banyak dari mereka seringkali menyanyi atau bersenandung sendiri atau mencipta lagu serta musik.
Kecerdasan logis-matematis, berhubungan dengan pola, rumus-rumus, angka-angka dan logika. Orang-orang ini cenderung pintar dalam teka-teki, gambar, aritmatika, dan memecahkan masalah matematika; mereka seringkali menyukai komputer dan pemrograman. 
Kecerdasan spasial, berhubungan dengan bentuk, lokasi dan mebayangkan hubungan di antaranya. Orang-orang ini biasanya menyukai perancangan dan bangunan, disamping pintar membaca peta, diagram dan bagan.
Kecerdasan tubuh-kinestetik, berhubungan dengan pergerakan dan ketrampilan olah tubuh. Orang-orang ini adalah para penari dan aktor, para pengrajin dan atlet. Mereka memiliki bakat mekanik tubuh dan pintar meniru mimik serta sulit untuk duduk diam. 
Kecerdasan interpersonal, berhubungan dengan kemampuan untuk bisa mengerti dan menghadapi perasaan orang lain. Orang-orang ini seringkali ahli berkomunikasi dan pintar mengorganisasi, serta sangat sosial. Mereka biasanya baik dalam memahami perasaan dan motif orang lain.
Kecerdasan intrapersonal, berhubungan dengan mengerti diri sendiri. Orang-orang ini seringkali mandiri dan senang menekuni aktifitas sendirian. Mereka cenderung percaya diri dan punya pendapat, dan memilih pekerjaan dimana mereka bisa memiliki kendali terhadap cara mereka menghabiskan waktu. 

Menurut Gardner, masing-masing dari kita memiliki sebuah kombinasi dari kecerdasan-kecerdasan ini. Setiap orang mempunyai kekuatan relatif dari tiap kecerdasan di atas sedemikian rupa sehingga orang tersebut cenderung menentukan pilihan aktifitas apapun yang dia sukai tanpa keterpaksaan. Kita menyebutnya sebagai bakat.

Dari sini kita bisa mengukur sejauh mana cakupan pendidikan yang pernah kita terima saat duduk dibangku SD hingga perguruan tinggi? Rasanyan, kebanyakan institusi pendidikan di Indonesia memberikan porsi yang besar terfokus pada pembangunan kecerdasan logis-matematis. Bahkan secara tak sadar masyarakat kitapun cenderung memberikan apresiasi yang berlebihan bagi orang yang memiliki kecerdasan logis-matematis. Banyak orang tua yang merasa prihatin bila mendapatkan anak-anaknya lemah dalam hal yang berbau logis-matematis. Keprihatinan tersebut mendorong para orang tua untuk memasukan anak-anaknya ke tempat bimbingan belajar atau mencari guru private yang mampu mengajarkan anaknya tentang dunia logis-matematis. Namun sesungguhnya mereka tidak mengajarkan apapun, yang jelas mereka melakukan pemaksaan terhadap suatu hal yang memang bukanlah bakat sang anak.

Lalu dimana anak-anak kita bisa mendapatkan ruang dan waktu yang bisa menumbuhkan dan menyalurkan atau setidaknya mengakomodir bakat mereka? Jawaban yang pasti adalah diluar sekolah. Saatnya kita harus berfikir untuk mendidik tanpa sekolah. Bagaimana caranya memberikan pendidikan tanpa sekolah? Tanggung jawab kita bersama untuk memikirkan dan merumuskannya.


Motivasi dari dalam diri


Dua kelompok anak SD diminta untuk membaca suatu tulisan. Satu kelompok diberitahu bahwa mereka akan diuji mengenai bacaan mereka; kelompok lain tidak diberitahu mengenai ujian tersebut. Saat kedua kelompok itu diuji, kelompok yang diberitahu akan ada ujian menunjukkan ingatan mekanik yang lebih baik, tapi kelompok yang tidak diberitahu akan ada ujian memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai konsep yang terkandung didalam bacaan. Yang menarik, satu minggu setelah ujian, para peneliti kembali lagi untuk menguji masing-masing kelompok tadi. Seperti yang mereka kira, tidak satupun dari anak-anak itu mengingat bacaan sebanyak ujian yang pertama. Meskipun begitu, yang mengherankan adalah, anak-anak yang pada awalnya diberitahu akan ada ujian sudah banyak yang lupa daripada anak-anak yang hanya membaca bacaan tanpa diminta ikut ujian. 

Dalam penelitian demi penelitian –di rumah, di sekolah, di tempat kerja- hasilnya serupa: orang-orang yang diizinkan untuk membuat keputusan mengenai cara mereka bersikap dapat bekerja lebih kompeten dan lebih efektif daripada mereka yang perilakunya dikendalikan dengan ketat dan dinilai oleh orang lain. 

Banyak sekolah yang mencoba meningkatkan prestasi murid-murid-nya dengan cara menawarkan hadiah dan uang untuk mereka yang punya nilai bagus. Pikirkan sejenak ide ini! Bukankah seperti ini agak melenceng dari misi pembelajaran yang seharusnya terjadi? Belajar menjadi bukan sesuatu yang dipilih oleh seorang individu normal, namun berdasarkan ketertarikan akan hadiah, sertifikat dan penghargaan sebagai bintang kelas. Hal yang hampir mirip juga terjadi didunia kantor dan perusahaan.

Meskipun penghargaan yang dibuat untuk mempengaruhi perilaku orang bisa efektif dalam jangka pendek, namun penerapan yang berlanjut bisa menjadi kurang efektif untuk memunculkan perilaku yang diinginkan, pada kenyataannya malah bisa mencegah munculnya perilaku tersebut. Yang terjadi, sistem imbalan memfokuskan perhatian pada penghargaan dan bukan pada tugas awal. Mahasiswa mulai terfokus untuk menjaga nilai indeks kumulatifnya, berkonsentrasi untuk menulis makalah, mengerjakan praktikum yang akan memberikan nilai-nilai tinggi dan sekedar mencapai batas minimal untuk lulus mata kuliah. Begitu dia menerima nilai yang diinginkan atau begitu dia lulus ujian, apa yang dia pelajari cepat dilupakan untuk mempersiapkan mata kuliah berikutnya, ujian berikutnya, dan nilai berikutnya. Para pekerja yang mencari bonus-bonus perusahaan mulai terfokus untuk memaksimalkan penjualan dengan merusak kepuasan pelanggan, yang akan berujung pada penurunan penjualan dalam jangka panjang. 

Faktanya memang demikian, bukan? Cara-cara pemberian hadiah dan bonus mematikan tumbuhnya motivasi orisinil dari diri. Individu tidak diberi kesempatan untuk mengerti alasan perilaku yang diminta dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja sama secara sukarela. Motivasi diri memiliki dua komponen utama: keaslian dan otonomi. Yang dimaksud dengan keaslian, seseorang harus bertindak sesuai dengan diri mereka sendiri secara jujur dan bukan hanya sekedar menginternalisasikan nilai-nilai orang lain. Yang dimaksud dengan otonomi adalah individu harus mengendalikan perilakunya sendiri, memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bersikap. Secara praktis kedua komponen ini dapat diterapkan dengan menggunakan apa yang disebut dengan tiga C: content (isi), collaboration (kerjasama), dan choice (pilihan). –tiga C itu bukan cemen,culun, dan cengeng– Jadi pada tahap awal, individu diajak untuk mengerti content (isi) dalam arti tujuan, sasaran atau obyektif suatu pelajaran atau suatu pekerjaan. Lalu dijelaskan tentang pentingnya collaboration (kerjasama) untuk mencapai tujuan tersebut dengan tidak membatasi atau menutup pilihan-pilihan (choice) alternatif mengenai bagaimana cara mencapai sasaran tersebut serta menimbang pilihan mana yang paling efektif dan efisien. Dari sini kreatifitas menemukan ruang aktualisasi yang lebih lebar.
Dengan cara ini, dosen, guru, professor, manager, atasan, direktur, mengambil porsi peranan yang lebih besar sebagai mitra kerja tanpa mengurangi peran kepemimpinannya dalam mengambil keputusan. Dalam lingkup cara mendidik, pendidikan tanpa sekolah membuka peluang lebar-lebar dalam menumbuhkan motivasi diri, sementara sekolah konvensional cenderung kurang membuka peluang tersebut. Wallahu’alam bishawab.

Kultur


Kemampuan orang untuk berinisiatif berbeda-beda. Hakekat inisiatif lebih dekat untuk disebut sebagai sebuah "keahlian", tapi berbasiskan pengetahuan. Namun, bukan berarti hanya orang-orang tertentu yang bisa memacu inisiatif. Tidak. Semua orang bisa meningkatkan daya inisatif untuk beramal shalih, sesuai kadar peegetahuan dan kemampuannya. Karenanya, memahami hal-hal yang bisa mempengaruhi – baik positif atau negatif – daya inisiatif sangatlah penting. Kemampuan dan keahlian adalah pengaruh internal. Sedang pengaruh luarnya adalah kultur atau budaya yang mengitari seseorang. Kultur dimaksud banyak, antara lain:

Kultur sosial
Maksudnya, iklim atau budaya yang lahir dari proses interaksi seseorang dengan orang lain. Atau bergaulnya seseorang dengan orang lain, dalam lingkup kecil maupun besar. Dengan anggota keluarga, dengan teman kerja, teman belajar, dengan sesama aktivis da’wah, maupun dalam lingkup lebih luas yaitu masyarakat. Kultur sosial punya dampak pada tingkat kemampuan orang untuk berinisiatif, karena manusia punya tabiat “saling terpengaruh dan mempengaruhi”. Pada umumnya anak-anak muda pecandu narkoba, memulai inisiatif buruknya itu karena ajakan teman. Hal yang sama juga terjadi pada kebiasaan merokok mereka. Mulanya diajak dan ikut-ikutan teman.

Anak-anak yang hidup nyaman dan serba berkecukupan sejak kecil, yang segala keperluannya siap sedia, dan tidak dikenalkan Islam secara baik, umumnya punya daya inisiatif beramal lebih kecil dari anak-anak yang lahir dalam keadaan susah, harus membantu mencari nafkah, hidup serba kekurangan, dan diajarkan norma-norma Islam. Karenanya, Rasulullah menasehati umatnya agar sekali-kali latihan hidup susah, “Ikhsyausyinu, fainnanni’mata la tadumu.” Bersusah-susahlah, karena sesungguhnya nikmat Allah itu tidak selamanya (bersama kita).

Setiap muslim, apalagi para aktivis da’wah harus pandai menyiasati kultur sosialnya. Kita mesti tahu dengan siapa harus berteman. Tapi kita juga harus pandai menjaga persaudaraan dengan orang-orang baik yang menjadi mitra sosial kita, sesama muslim, maupun sesama da’i. Dari sana konsep ukhuwah menjadi ladang penggalian inisiatif yang tak pernah kering. Maka jangan heran, bila ada salafussalih yang mengatakan, “ikhwani ahabbu ilaiyya min ahlii.” Maksudnya, ikhwah, saudara-saudara seiman saya, kadang lebih aku cintai dari keluargaku sendiri. Ia memberi alasan, “lianna ikhwan Yudzakkiruni bil akhirah, wa ahli yudzakkiruni bid-dunya.” Sebab, menurutnya, “ikhwah saya mengingatkan saya tentang akhirat, sedang keluarga saya mengingatkan saya tentang dunia.”

Teman adalah cermin dari wajah perilaku kita sendiri. Jangan sampai kultur sosial itu merusak kemampuan inisiatif untuk beramal. Proses saling mempengaruhi itu lambat atau cepat pasti terjadi. Tergantung siapa yang lebih kuat. Rasulullah menegaskan, "Seseorang itu tergantung bagaimana agama temannya." (HR. Tirmidzi).

Kultur organisasi
Bila orang bergabung dalam sebuah organsisai, termasuk organisasi da’wah, ia akan memasuki kultur yang ada dalam organisasi tersebut. Tidak saja itu, ia dituntut untuk mentaati kultur yang ada. Ada organisasi politik, organisasi profesi, organisasi sosial, dan lain sebagainya. Masing-masing punya kultur berbeda. Organisasi da’wah pun demikian, ada organisasi kader da’wah, ada juga yang sebatas organisasi simpatisan da’wah.

Salah satu budaya umum yang dikenal dalam berorganisasi adalah soal lahirnya kebijakan. Pola yang biasa dikenal adalah "dari atas ke bawah" (top-down), dan sebaliknya, dan bawah ke atas (buttom-up). Sejauh mana dua pola ini dominan, sejauh itu pengaruhnya terhadap daya inisiatif dalam berorganisasi itu. Karenanya, dalam sebuah organisasi (jama’ah) da’wah, setiap muslim yang bergabung di dalamnya, harus pandai mengasah inisiatif beramalnya. Jangan selalu menunggu komando, tapi juga jangan kelewat agresif. Pelajari dan pahami rambu-rambu organisasi da’wah yang ada, lalu berprestasilah semaksimal mungkin, ada atau tidak ada perintah, dalam lingkup rambu-rambu itu.

Barangkali, untuk memicu semangat inisiatif beramal shalih dalam sebuah organisasi, bisa meminjam teori Mc. Waber. Ia membuat dua parameter untuk mengukur kultur sebuah team atau organisasi. Yaitu, "orientasi hasil" dan “refleksifitas sosial.” Keduanya digambarkan dalam dua buah garis yang bersilangan. Ukuran yang dipakai adalah positif dan negatif. Dari sana muncul empat kwadran. Kwadran pertama, team yang disfungsi karena hasil kerjanya minus, dan suasana sosial dalam team juga minus. Kedua, organisasi yang menyenangkan, karena suasana sosialnya saja yang positif tapi orientasi hasilnya negatif. Ketiga, organisasi yang kaku. Karena baik hasil maupun suasana sosialnya negatif semua. Adapun yang keempat, dia sebut dengan “team yang berfungsi penuh” Karena hasilnya positif, dan suasana sosialnya juga positif.

Apa yang disampaikan Mc. Waber bukan hal yang baru dalam Islam. Rasulullah adalah contoh pemimpin yang mendorong para sahabat sebagai para anggota jama’ah da’wahnya unt.uk berprestasi, tidak saja di dunia, bahkan di akhirat. ia bersabda, "Barangsiapa lambat amal-nya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya." Selain dorongan berprestasi, Rasulullah menerapkan konsep ukhuwah sebagai aturan interaksi sosial. Karenanya, bila kita tergabung dengan organisasi Islam, ataupun organisasi da’wah, daya inisiatif kita harus terus kita asah. Agar lahir kultur organisasi yang baik, bukan malah kultur yang mematikan budaya inisiatif.

Kultur pekerjaan
Dalam batas tertentu, jenis pekerjaan punya pengaruh kepada daya inisiatif seseorang untuk beramal shalih. Sopir angkutan yang berpacu mengejar tingginya setoran, mahasiswa yang berjibaku dengan diktat-diktat, seorang pengusaha mapan, pedagang di lampu merah, pegawai negeri, petani, dan lain sebagainya, punya kultur pekerjaan yang berbeda-beda. Suasana kerja yang berbeda-beda itu memberi pengaruh berbeda pula kepada tingkat inisiatif orang untuk melakukan amal shalih. Betapa banyak dari mereka yang tidak punya inisiatif untuk shalat, misalnya, karena alasan pekerjaannya. Padahal, sebenamya masalah utamanya adalah hati mereka, bukan pekerjaan. Karenanya, setiap muslim maupun seorang da’i harus mengenali betul karakter kultur pekerjaannya. Ia harus tahu seluk beluk dan lika-liku pekerjaannya. Dari situ ia lantas punya pengetahuan yang cukup untuk mengubah hambatan-hambatan inisiatif menjadi pendorong-pendorong inisiatif untuk beramal shalih.

Maka, pilihlah pekerjaan yang halal. Lalu kendalikan pekerjaan itu, dan jangan sebaliknya, pekerjaan yang mengendalikan kita. Bila pekerjaan berada di bawah kendali, kita akan bisa menjadwal diri untuk melakukan kewajiban-kewajiban beragama kita maupun kewajiban-kewajiban da’wah kita.

Kultur dasar pendidikan
Latar belakang kultur pendidikan kadang turut mempengaruhi daya inisiatif seseorang untuk beramal shalih. Kultur ilmu-ilmu eksak mempengaruhi kekuatan logika rasional lebih banyak dibanding ilmu-ilmu sosial. Sebaliknya, ilmu-ilmu sosial punya dorongan akomodatif dan toleransi yang lebih besar terhadap norma-norma tertentu. Apapun yang kita pelajari, sedikit banyak akan membentuk kepribadian kita. Sebelum orang melakukan pekerjaan atau beramal, pertama kali diawali oleh pemikiran. Atau persepsinya tentang pekerjaan itu. Seperti kata Imam Ibnul Qayyim, bahwa fikrah (pola pikir) itu mendahului pekerjaan. Atau seperti ungkapan Ibnu Khaldun, "Kamu adalah seperti apa persepsi kamu tentang kamu."

Bukan berarti ada pendidikan yang mematikan inisiatif seseorang. Tapi masalahnya lebih kepada sejauh mana seseorang dengan latar pendidikan tertentu tetap punya inisiatif beramal shalih yang tinggi. Dan, itu membutuhkan kearifan dari setiap orang.

Kultur bawaan lahir
Adakalanya, matinya inisiatif beramal merupakan dampak dari karakter bawaan lahir. Ada orang yang sejak lahir kemampuan berinisiatifnya lemah. Bisa karena faktor genetis, bisa juga karena salah urus pada masa kecil. Faktor genetis, yang oleh Rasulullah disebut dengan al-’irq memang tajam. Setiap bayi lahir pasti mewarisi unsur-unsur tertentu dari gen orang tua maupun kakek neneknya. Suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. Ia mengadu karena anaknya hitam negro, padahal ia dan istrinya tidak seperti itu. Rasululullah mengatakan, bisa jadi yang negro adalah kakek-neneknya di atas yang jauh sekali pun.

Adapun soal pembinaan sejak kecil, perhatian terhadap perkembangan kecerdasan anak, akan mempengaruhi tingkat kemampuan mereka dalam berinisiatif beramal. Baik kecerdasan intelektualnya, maupun kecerdasan emosinya. Menurut para ahli, otak manusia, atau kecerdasan intelektualitas itu bisa diperbaiki dan dibentuk hingga anak berusia sekitar delapan belas tahun. Sedang kecerdasan emosi bisa dibenahi hingga usia tua sekalipun.

Kemampuan berinisiatif tetap bisa diasah, sesuai kadar kecerdasan itu. Tapi inisiatif tak selalu harus lahir dari kecerdasan. Setidaknya, orang secara umum bisa menimbang mana yang baik dan harus ia amalkan. Dan mana yang buruk yang harus ia tinggalkan, Allah swt berfirman, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.”(QS. Asyamsy: . Pada taraf selanjutnya, setiap muslim dan setiap da’i harus terus belajar mengenali tabiat dirinya, menghafal karakter bawaannya. Lalu dari pengetahuan tentang dirinya sendiri itu, ia tahu betul kapan saat jenuhnya, dan bagaimana kiat membangun kembali semangat inisiatif beramal shalih. Sesuatu yang orang lain belum tentu tahu.

Semua kultur tersebut di atas, hanya peluang dan potensi yang bisa mempenqaruhi kadar inisiatif seseorang dalam beramal shalih. Tak selamanya kultur-kultur itu menjadi penghalang, apalagi menjadi sebab matinya inisiatif beramal shalih. Segalanya masih kembali kepada masing-masing kita. Bagaimana kita mengasah dan menumbuhkan terus semangat untuk berinisiatif. Agar apapun kultur yang mengitari diri kita, tetap menjadi pemacu untuk beramal shalih dan berda’wah lebih serius lagi. Wallahu’alam.


Kiat Mendidik Anak


M. Fauzil ‘Adhim

Ketika anak kita lahir, atau bahkan ketika kita hendak berangkat menikah, yang terbersit dalam hati barangkali adalah kerinduan untuk memiliki anak yang berbakti kepada-Nya. Inilah anak yang dirindukan oleb kaum mukmin. Anak yang hukma-shabiyya rabbiradhiyyab (semenjak kecil telah memiliki kearifan dan sekaligus diridhai Tuhan). Anak shalih yang mendo’akan ketika para pelayat telah selesai menimbunkan tanah di pekuburan kita. 

Kerinduan untuk memiliki anak yangherbakti kepada-Nya sejak kita berkeinginan untuk menikah, bukan saja boleh. Bahkan kita perlu membakarnya agar lebih meluap-luap lagi. Sehingga kerinduan itu membuat kita mempersiapkan diri.Kalau Anda merindukan anak-anak yang demikian, mari kita dengarkan kata-kata Rasulullah: “Allah merahmati seseorang yang membantu anaknya berbakti kepada-Nya,” sabda Nabi SAW. Beberapa orang di sekeliling Nabi bertanya: Bagaimana caranya, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dia menerima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, dan tidak membebaninya, tidak pula memakinya.” 

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasu-lullah bersabda, “Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. Siapa yang menghendaki, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui anaknya.” Siapa yang menghendaki, begitu Rasullullah yang mulia berkata, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui anaknya. Semoga tidak satupun di antara kita yang menghendaki anak-anak yang durhaka. Semoga tidak satu pun. Tetapi apa yang sudah kita lakukan? Sudahkah kita membantu anak-anak kita untuk berbakti sebagaimana yang diserukan oleh Rasulullah SAW? 

Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing. Selanjutnya, marilah kita tengok sekeliling kita. Mereka yang frustasi dan memberontak pada orangtua, anak-anak siapakah itu? Mereka yang tertangkap saat meminum obat-obat terlarang, anak-anak siapakah itu? Mereka yang berkelahi dan saling menerkam, anak-anak siapakah itu? Mereka bukan orang lain. Di antara mereka adalah anak-anak orang Islam. Bapaknya Islam. Ibunya Islam. Dan kampung mereka dikenal sebagai kampung Islam. Mengapa ini terjadi? 

Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing. Pada saat yang sama, marilah kita lihat apa yang terpancang di rumah-rumah saudara kita. Kalau dulu mereka mengisi saat-saat yang sepi dengan kidung barzanji atau maulid nabi, sekarang telah berganti dengan antena parabola dan pesawat televisi di atas 30 inchi. Kalau dulu mata yang maksiat ditangisi tak henti-henti, sekarang hiburan telanjang dihadirkan ke rumah-rumah orang “mukmin” melalui televisi dengan mengorbankan waktu-waktu produktif. 

Sementara, koran-koran menyajikan isu dan gosip yang tak jelas ujung pangkalnya lantaran semua telah berdiri di atas agama baru yang bernama bisnis dan konsumtivisme. Baju baru menjadi lebih berharga daripada harga diri, sehingga seorang gadis bersedia tidak perawan lagi demi memperolek gemerlap mode dan penampilan trendy. (Semoga Allah mensucikan kita dan keturunan kita dan hal-hal yang demikian). 

Masya-Allah, betapa banyak yang telah kita lupakan atau bahkan sengaja kita tinggalkan. Kalau dulu tetangga merasa ikut bertanggungjawab atas kebaikan anak tetangganya sehingga anak-anak berkembang dalam kesejukan, sekarang ketika orangtua mendapati anaknya nakal yang terucap adalah kata-kata, “Apa salah saya? Kenapa anak saya yang begini? Padahal, perasaan, tidak pernah menyakiti orang lain.” 

Kenapa anak saya yang begini? menyiratkan kesaksian hati untuk mengikhlaskan anak-anak orang lain rusak, asal jangan merusak anak sendiri. Sehingga ketika anak sendiri yang rusak, pertanyaan yang muncul adalah, “Kenapa anak saya yang begini? (Kenapa bukan anak orang lain?)” Ya, kenapa begini. 

Ada banyak hal yang perlu kita renungkan kembali. Tetapi, saat ini, marilah kita mengingat-ingat hadis Nabi sebagaimana kita simak di awal tulisan ini. Semoga kita termasuk orang-orang yang dirahmati Allah, dengan melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Rasulullah SAW dalam membantu anak kita berbakti kepada-Nya, yaitu:

1. Menerima yang Sedikit 
2. Memaafkan yang Menyulitkan 
3. Tidak Membebani 
4. Tidak Memakinya 

1. Menerima yang Sedikit 

Setiap anak telah diberi kelebihan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, dan ia dimudahkan untuk melakukan apa yang menjadi kelebihannya (bakat).Setiap anak memiliki kadar kelebihan yang berbeda-beda dan jenis keberbakatan yang beragam-ragam. Saya mempunyai bakat menulis, alhamdulillah itu saya telah memupuknya sehingga subur, dan orang lain juga mempunyai bakat menulis. Tetapi bakat saya menulis, berbeda dengan bakat menulis orang lain. Amanahnya juga berbeda antara saya dan orang lain. Ada anak yang bakatnya sangat beragam, sehingga ia menyukai hampir semua bidang dan mampu berprestasi di setiap bidang yang ia geluti. 

Imam Syafi’i adalah salah satu contohnya.Ia meletakkan dasar-dasar ilmu ushul-fiqh, menetapkan qaul-qaul (pendapat hasil ijtihad) fiqih, menguasai ilmu firasat, memahami dan sekaligus termasuk ulama hadis yang piawai, serta sejumlah bidang keilmuan sejenis lainnya. Beliau juga orang yang banyak mendalami ilmu fisika, kimia, kedokteran, ilmu hitung, ilmu falak, perbintangan dan ilmu-ilmu empiris lainnya. Ada yang bakatnya hanya pada satu bidang, sementara bidang lainnya lemah. 

Bahkan ada yang semula tampak sangat kesulitan dalam bidang tertentu, tetapi kemudian menjadi seorang yang paling menguasai. Setiap anak memiliki kelebihan, betapa pun sedikitnya.Betapa pun sedikitnya. Betapapun saat ini masih samar-samar. Atau, bahkan belum kelihatan. 

Tugas Anda adalah menerima anak dengan hati terbuka dan cinta yang tulus. Terimalah yang sedikit dengan menjadikan diri Anda seorang ibu yang aminah, ibu yang menjadi sumber rasa aman bagi anak-anak Anda.Sehingga Andalah yang menjadi pelariannya ketika ia gelisah. Pangkuan Andalah yang dicari-cari tatkala Ia tidak bisa ulangan maternatika.Bukan justru takut mendengar suara sepatu Anda. 

Terimalah yang sedikit. Jangan terlalu banyak menuntut anak. Bisa jadi anak menjadi seperti yang Anda tuntut saat ini, tetapi jangan-jangan ia akan mengalami sejumlah masalah kejiwaan yang tak kunjung selesai.Beruntung kalau ia memperoleb jawaban yang menyejukkan hati di kitab suci. Kalau tidak, jangan-jangan tindakan orangtua terlalu menuntut anak termasuk di antara perbuatan yang menyebabkan anak melakukan kedurhakaan. Na ‘udzubillahi min dzalik. 

Terimalah yang sedikit. Dan biarkan kasih-sayang, keteduhan dan kedamaian belaian tangan Anda menjadi tanah subur tempat anak menumbuhkan yang sedikit itu menjadi banyak dan berharga. Sedangkan do’a-do’a yang Anda panjatkan di penghujung malam, menjadi air dan penjaga kesucian tujuan serta niat Anda dalam mendidiknya sampai kelak Anda berjumpa lagi di yaumil-qiyarnah Semoga kita termasuk orang-orang yang dikumpulkan dengan anak-cucu dan orangtua kita. 

2. Memaafkan yang Menyulitkan 

Ketika SD dan SMP saya mempunyai kesulitan dalam mata pelajaran bahasa daerah, disamping olahraga. Saya orang Jawa asli. Ibu Jawa dan bapak juga Jawa. Tetapi saya kesulitan bukan main untuk belajar bahasa Jawa.Ulangan bahasa daerah, sudah lumayan bisa mendapat nilai 5. Kalau tidak, saya malah mendapat nilai 4 atau 3. Sebuah angka yang istimewa karena jarang yang mendapatkannya. 

Tentu saja bukan angka istimewa ini yang membuat saya bahagia. Nilai saya yang hampir selalu rendah dalam bahasa daerah, tidak menimbulkan masalah yang menyulitkan perkembangan saya lantaran ibu memaafkan apa yang menyulitkan saya. Ketika saya bercerita bagaimana hari itu saya mendapat nilai yang jelek (jelek sekali) dalam bahasa daerah, ibu justru balik bercerita bahwa beliau semasa sekolah juga mempunyai kelemahan dalam mata pelajaran tertentu. 

Ibu bercerita tentang kecerdasannya dalam pelajaran bahasa daerah, tetapi lemah dalarn mata pelajaran yang justru menjadi kelebihan saya. Sekali waktu, ibu membawakan buku biografi Albert Einstein, seorang penemu rumus E = MC2 yang awalnya di-DO dan sekolah lantaran bodoh. Kali lain, saya dibawakan buku biografi Thomas Alva Edison, ilmuwan cemerlang yang pernah dianggap sinting gara-gara mengerami telur angsa (tentu saja tidak bisa menetas). Ibu juga membawakan buku-buku biografi lainnya, sehingga saya merasa aman terhadap diri saya dan menerima kelebihan, kekurangan maupun apa yang oleh orang lain disebut kelemahan saya. 

Kesulitan anak bisa beragam. Tidak hanya yang berkait dengan kecakapan di kelas. Anak barangkali cerdas di kelas, tapi ia membutuhkan proses yang lebih lama untuk bisa memakai dan meletakkan sepatu dengan baik.Anak barangkali cepat tanggap terhadap ta’lim (pendidikan) yang diberikan oleh bapaknya selepas shalat maghrib, tapi sulit mengucapkan ‘ain dengan benar. 

Memaafkan yang menyulitkan sambil tidak berputus asa terhadap rahmat Allah, insya Allah justru menjadikan anak berkembang dengan baik dan mampu mengatasi sendiri kesulitan-kesulitannya.Memaksa, memarahi, apalagi sampai membandingkan hal-hal yang rnenyulitkan anak dengan kecakapan anak lain, justru rawan terhadap berbagai jenis penyimpangan perilaku. Boleh jadi anak tidak nakal lantaran takut terhadap sikap keras Anda. Tetapi ia mungkin akan menjadi minder, rendah diri, dan kurang bisa bersikap tegas. Mungkin juga ia justru sebaliknya, menjadi sensitif, mudah tersinggung, kaku dan mudah tersulut kemarahannya. 

Ibu Albert Einstein bisa memaafkan kesulitan yang menimpa anaknya.Ia membimbing anaknya dengan penuh kasih-sayang dan kesabaran. Ia tidak membebani anaknya. Kelak, anaknya menjadi ilmuwan terkenal yang sukses.Nasehat untuk memaafkan yang menyulitkan anak, ternyata tidak hanya efektif untuk kita yang muslim. Ia juga tepat untuk mereka yang belum mengenal Islam. 

Nah, kalau sekarang Anda belurn memaafkan hal-hal yang menyulitkan anak Anda, marilah kita segera membenahi diri selagi pintu belum tertutup.Boleh jadi, rnaksud memaafkan yang menyulitkannya lebih luas lagi, yaitu memaafkan perilaku anak yang menyulitkan orang tua. Semoga dengan demikian, mereka kelak menjadi anak yang menyejukkan mata. 

3. Tidak Membebani 

Allah tidak membebani manusia, kecuali sebatas kemampuannya. Ketika Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk bertakwa, yang Ia perintahkan adalah fattaquLlaha mastatha’tum (bertakwalah semampu kamu). Ketika Allah Jalla wa ‘Ala menyerukan manusia untuk melaksanakan berbagai kebajikan, yang Allah serukan adalah ahsanu-amala (sebaik-baik amal). Bukan aktsaru-amala (sebanyak-banyak amal). 

Ketika Rasulullah SAW mengajak sahabatnya untuk melaksanakan apa yang beliau perintahkan, yang beliau katakan adalah, “Jika aku larang kau melakukan sesuatu, maka jauhilah, dan jika aku perintahkan kau untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampu kamu. (Muttafaq ‘Alaih, diriwayatkan Bukhari & Muslim) 

Orangtua yang menginginkan anak berbakti kepadaNya, hendaklah tidak membebani anak dengan tugas-tugas yang tidak mampu ia lakukan.Ketidakmampuan anak bisa disebabkan oleh belum siapnya anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dikehendaki orangtua, bisa lantaran usia anak maupun kesanggupan fisik anak belum memungkinkan, bisa pula lantaran tingkat kemampuan anak belum memadai. 

Tugas-tugas atau tuntutan yang baik akan berakibat baik sebagaimana dikehendaki, jika dilaksanakan pada waktu yang tepat, dengan cara yang tepat, takaran yang tepat, dan membawa kemaslahatan bagi anak di masa-masa berikutnya. Inilah antara lain pengertian dari istilah hikmah. 

Didiklah anak dengan bijak dan lemah-lembut.Tanamkan padanya keinginan untuk melakukan kebajikan-kebajikan dengan sebaik-baiknya menurut kadar kesanggupannya. Jangan terlalu menuntutnya untuk mampu melakukan segala macam tugas seperti yang anda kehendaki, saat ini juga. Jangan membanding-bandingkan Ia dengan saudaranya yang memiliki prestasi lebih bagus dalam bahasa Inggris, misalnya. Hindari terlalu banyak membebani anak dengan berbagai keharusan. 

Perintah-perintah yang terlalu banyak menggunakan kata harus, bukannya memotivasi anak. Justru melemahkan. Perintah serba harus dan jangan dengan serta-merta, tidak merangsang anak untuk kreatif dan antusias melakukan kebaikan. Sebaliknya, ia secara perlahan berubah menjadi mesin yang kehilangan inisiatif-inisiatif kreatif maupun kecakapan berinovasi. Ia hanya melaksanakan apa-apa yang sudah diinstruksikan. 

Selebihnya, mudah-mudahan ia tidak mengalami tekanan mental yang berkepanjangan.Dalam ‘ushul-fiqli dikenal waidul-khamsah (lima prinsip dasar), salah satunya adalah terpeliharanya akal. Kalau orangtua terlalu membebani anak dengan tugas-tugas yang belum sanggup ia lakukan atau dengan tuntutan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, apakah ini tidak termasuk pengebirian akal dan bahkan jiwa? Wallahua’lam bishawab. 

Abul Laits rahimahullah, menurut Shalih Baharits menggambarkan kasih-sayang dan perlindungan ulama salaf terhadap anak-anaknya dan perbuatan yang menyakitkan orangtuanya. Beliau berkata bahwa sebagian kaum shalihin tidak memerintahkan anak suatu beban yang dikhawatirkan akan mengantarkan anak mendurhakai orangtuanya sehingga menyebabkannya masuk neraka. Itulah pandangan ulama salaf yang memiliki pandangan yang jauh tentang kasih-sayang kepada anak dan keutamaannya membantu anak selamat di dunia dan di akhirat. Sehingga setiap hendak memerintahkan kepada anaknya, mereka selalu berfikir, “Apakah anakku akan sanggup melakukannya? Kalau tidak sanggup, bukankah itu berarti aku telah rnenjerumuskannya ke dalam kebinasaan?” 

Seorang ibu ketika hendak memberikan perintah kepada anaknya, hendaklah memperhatikan betul apakah perintahnya akan mudah dilaksanakan anak atau tidak. Seorang ibu perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar anaknya tidak berkesempatan untuk menolak perintah orangtua. Ini bukan dengan menggunakan kekuasaan sebagai orangtua untuk rnemaksa, tetapi dengan berhati-hati betul dalam mernberikan perintah. la hanya memberikan perintah yang anak sanggup melaksanakannya, kecuali tugas-tugas yang sifatnya saran dan dorongan saja. 

Kalau seorang anak memperoleh tugas-tugas yang sanggup ia lakukan, semangatnya akan berkembang. Di samping itu perasaannya terhadap orangtua juga ikut berkembang ke arah yang baik, sehingga secara bertahap tumbuh dorongan untuk berbakti kepada orangtua. Inilah yang dijaga oleh orangtua terdahulu. Mereka takut anaknya mendapat murka Allah lantaran tidak melaksanakan apa yang ditugaskan orangtuanya. Sementara tugas dari orangtua itulah sesungguhnya yang berat dan mengejutkan anak.Mereka mengharapkan anak yang barakah. 

Kesabaran mereka bersumber dari kesadaran tentang rahmat dan murka Tuhan. Lalu, apa akibatnya kalau anak senantiasa terbebani? Mungkin ia menjadi anak yang minder dan tidak percaya diri.Mungkin ia menjadi seorang opportunis yang kemana ia terbang tergantung pada kemana angin bertiup. Mungkin ia menjadi seorang pemberontak yang menentang apa yang diperintahkan orangtua, begitu ia merasa punya kekuatan. Mungkin juga ia memperoleh guru yang menuntunnya dengan kearifan dan kesabaran. Gurunya bisa jadi ia dapatkan di masjid, di sekolah, di pasar, atau di buku.

4. Tidak Memakinya 

Ridha Allah bergantung pada ridha orangtua. Ucapan ibu adalah do’a yang mustajabah. Apalagi jika lahir dan keadaan hati yang kuat.Itulah sebabnya, para ibu terdahulu sangat menjaga lisannya agar tidak pernah sekalipun mengucapkan kata-kata yang buruk bagi anaknya. Ia lebih memilih untuk menangis ketika ia tak tahan lagi menahan kesal, daripada rnengucapkan sumpah atan memberi julukan kepada anak sesuatu yang buruk, misalnya, “Kamu ini kok nakal, sih?” 

Mereka menahan lidah sekuat-kuatnya, karena takutnya mereka kepada Allah. Mereka menjaga ucapannya sebisa-bisanya karena takut ucapan yang sekarang, menjadi jalan untuk mengucapkan makian pada anaknya. Sebab ucapan seorang ibu kepada anaknya, terutama ucapan-ucapan yang keluar dan hati yang paling dalam, akan menghunjam tepat di lubuk hati anak. 

Kalau sekali waktu seorang ibu mengucapkan kata yang buruk, ia segera berlari untuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengasih. Kemudian ia meminta maaf kepada anaknya.Di saat inilah, anak justru mendapatkan pelajaran yang nyata. Tangis ibu dan permintaan maafnya, menggerakkan anak untuk rnenanggalkan kenakalan-kenakalan, dan menggantinya dengan akhlak yang baik. Ketika seorang ibu meminta maaf kepada anaknya, yang terjadi justru anak akan ikut menangis. 

Atau, peristiwa itu menjadi sejarah besar yang mengesankan dan mempengaruhi pertumbuhan pribadinya. Ia belajar mengenai akhlak yang mulia dan kelemah-lembutan ibu. Dan bukan sebaliknya, yakni makian.Caci-maki hanya mendorong anak untuk melakukan kenakalan yang lebih besar, di samping sebagai pelajaran bagi anak itu sendiri bagaimana mencaci yang menyakitkan orang. Makian orangtua justru menjadikan anak kebal terhadap makian, nasehat, dan perkataan yang kasar. Kata yang kasar akan ia balas dengan kata yang kasar dan suara lantang. 

Caci maki tidak merangsang anak untuk memiliki kepekaan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Fir’aun adalah musuh Allah. Kezaliman Fir’aun sangat melebihi batas. Ia bahkan telah mengaku menjadi Tuhan. Di tangannya, Siti Masyithah menemui syahidnya setelah direbus dalam minyak mendidih.Tetapi, terhadap orang yang sezalim itu, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Nabiyullah Musa alaihissalam agar menyeru Fir’aun dengan lemah lembut. Allah SWT berfirman, “Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku. Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat akan takut” (Q.S. Thaahaa, 20:42-44). 

Sebagai penutup, marilah kita renungkan sebuah hadis Nabi SAW, sambil mernohon kepada Allah SWT agar mensucikan mulut kita yang masih kotor: Ibnu Umar RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW berkunjung kepada Saad bin Ubadah. Turut bersama beliau Abdurrahman bin Aufdan Saadbin, Abi Waqqash dan Abdullah bin Mas ‘ied RA, maka Rasulullah SAW tampak menangis. Begitu para sahabat melihat beliau menangis, maka merekapun ikut menangis. Setelah itu beliau berkata, “Apakah kalian tidak mendengar bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa seseorang karena tetesan air mata, dan tidak pula karena kesedihan hati, akan tetapi Dia akan menyiksa karena ini atau memberi rahmat (sambil menunjuk lidahnya).” (Muttafaq ‘Alaih). 

Disarikan dari buku yang berjudul “Bersikap Terhadap Anak - Pengaruh Perilaku Orangtua terhadapKenakalan Anak” karangan Moh. Fauzil Adhim.


Ketika Mas Gagah Pergi


Oleh : Helvi Tyana Rosa

Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamu’alaikum!"seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.

"Matiin kasetnya!"kataku sewot.

"Lho memangnya kenapa?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"

"Bodo!"

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"

"Pokoknya kedengaran!"

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"

"Lain gimana Ma?"

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."

Mas Gagah tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

"Mau kemana Gita?"

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."

"Ikut Mas aja yuk!"

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.

"Mbak Ana?"

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

"Hidayah."

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

"Cuma lagi baca!"

"Buku apa?"

"Tumben kamu pingin tahu?"

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.

"Maaas…"

"Apa Dik Manis?"

"Gita akhwat bukan sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Mas kok nangis?"

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.

"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

"Lho! " Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiinggg!" telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.

"Mas Gagaaaaahhhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."

"Gita…" suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.

"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.

Epilog:

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.

"Mas, Gita akhwat bukan sih?"

"Ya, insya Allah akhwat!"

"Yang bener?"

"Iya, dik manis!"

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"

"Kok nanya gitu sih?"

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"

"Ganteng kan?"

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"

"Ya always dong, jihad itu…"

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!