25 September 2008

Kultur


Kemampuan orang untuk berinisiatif berbeda-beda. Hakekat inisiatif lebih dekat untuk disebut sebagai sebuah "keahlian", tapi berbasiskan pengetahuan. Namun, bukan berarti hanya orang-orang tertentu yang bisa memacu inisiatif. Tidak. Semua orang bisa meningkatkan daya inisatif untuk beramal shalih, sesuai kadar peegetahuan dan kemampuannya. Karenanya, memahami hal-hal yang bisa mempengaruhi – baik positif atau negatif – daya inisiatif sangatlah penting. Kemampuan dan keahlian adalah pengaruh internal. Sedang pengaruh luarnya adalah kultur atau budaya yang mengitari seseorang. Kultur dimaksud banyak, antara lain:

Kultur sosial
Maksudnya, iklim atau budaya yang lahir dari proses interaksi seseorang dengan orang lain. Atau bergaulnya seseorang dengan orang lain, dalam lingkup kecil maupun besar. Dengan anggota keluarga, dengan teman kerja, teman belajar, dengan sesama aktivis da’wah, maupun dalam lingkup lebih luas yaitu masyarakat. Kultur sosial punya dampak pada tingkat kemampuan orang untuk berinisiatif, karena manusia punya tabiat “saling terpengaruh dan mempengaruhi”. Pada umumnya anak-anak muda pecandu narkoba, memulai inisiatif buruknya itu karena ajakan teman. Hal yang sama juga terjadi pada kebiasaan merokok mereka. Mulanya diajak dan ikut-ikutan teman.

Anak-anak yang hidup nyaman dan serba berkecukupan sejak kecil, yang segala keperluannya siap sedia, dan tidak dikenalkan Islam secara baik, umumnya punya daya inisiatif beramal lebih kecil dari anak-anak yang lahir dalam keadaan susah, harus membantu mencari nafkah, hidup serba kekurangan, dan diajarkan norma-norma Islam. Karenanya, Rasulullah menasehati umatnya agar sekali-kali latihan hidup susah, “Ikhsyausyinu, fainnanni’mata la tadumu.” Bersusah-susahlah, karena sesungguhnya nikmat Allah itu tidak selamanya (bersama kita).

Setiap muslim, apalagi para aktivis da’wah harus pandai menyiasati kultur sosialnya. Kita mesti tahu dengan siapa harus berteman. Tapi kita juga harus pandai menjaga persaudaraan dengan orang-orang baik yang menjadi mitra sosial kita, sesama muslim, maupun sesama da’i. Dari sana konsep ukhuwah menjadi ladang penggalian inisiatif yang tak pernah kering. Maka jangan heran, bila ada salafussalih yang mengatakan, “ikhwani ahabbu ilaiyya min ahlii.” Maksudnya, ikhwah, saudara-saudara seiman saya, kadang lebih aku cintai dari keluargaku sendiri. Ia memberi alasan, “lianna ikhwan Yudzakkiruni bil akhirah, wa ahli yudzakkiruni bid-dunya.” Sebab, menurutnya, “ikhwah saya mengingatkan saya tentang akhirat, sedang keluarga saya mengingatkan saya tentang dunia.”

Teman adalah cermin dari wajah perilaku kita sendiri. Jangan sampai kultur sosial itu merusak kemampuan inisiatif untuk beramal. Proses saling mempengaruhi itu lambat atau cepat pasti terjadi. Tergantung siapa yang lebih kuat. Rasulullah menegaskan, "Seseorang itu tergantung bagaimana agama temannya." (HR. Tirmidzi).

Kultur organisasi
Bila orang bergabung dalam sebuah organsisai, termasuk organisasi da’wah, ia akan memasuki kultur yang ada dalam organisasi tersebut. Tidak saja itu, ia dituntut untuk mentaati kultur yang ada. Ada organisasi politik, organisasi profesi, organisasi sosial, dan lain sebagainya. Masing-masing punya kultur berbeda. Organisasi da’wah pun demikian, ada organisasi kader da’wah, ada juga yang sebatas organisasi simpatisan da’wah.

Salah satu budaya umum yang dikenal dalam berorganisasi adalah soal lahirnya kebijakan. Pola yang biasa dikenal adalah "dari atas ke bawah" (top-down), dan sebaliknya, dan bawah ke atas (buttom-up). Sejauh mana dua pola ini dominan, sejauh itu pengaruhnya terhadap daya inisiatif dalam berorganisasi itu. Karenanya, dalam sebuah organisasi (jama’ah) da’wah, setiap muslim yang bergabung di dalamnya, harus pandai mengasah inisiatif beramalnya. Jangan selalu menunggu komando, tapi juga jangan kelewat agresif. Pelajari dan pahami rambu-rambu organisasi da’wah yang ada, lalu berprestasilah semaksimal mungkin, ada atau tidak ada perintah, dalam lingkup rambu-rambu itu.

Barangkali, untuk memicu semangat inisiatif beramal shalih dalam sebuah organisasi, bisa meminjam teori Mc. Waber. Ia membuat dua parameter untuk mengukur kultur sebuah team atau organisasi. Yaitu, "orientasi hasil" dan “refleksifitas sosial.” Keduanya digambarkan dalam dua buah garis yang bersilangan. Ukuran yang dipakai adalah positif dan negatif. Dari sana muncul empat kwadran. Kwadran pertama, team yang disfungsi karena hasil kerjanya minus, dan suasana sosial dalam team juga minus. Kedua, organisasi yang menyenangkan, karena suasana sosialnya saja yang positif tapi orientasi hasilnya negatif. Ketiga, organisasi yang kaku. Karena baik hasil maupun suasana sosialnya negatif semua. Adapun yang keempat, dia sebut dengan “team yang berfungsi penuh” Karena hasilnya positif, dan suasana sosialnya juga positif.

Apa yang disampaikan Mc. Waber bukan hal yang baru dalam Islam. Rasulullah adalah contoh pemimpin yang mendorong para sahabat sebagai para anggota jama’ah da’wahnya unt.uk berprestasi, tidak saja di dunia, bahkan di akhirat. ia bersabda, "Barangsiapa lambat amal-nya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya." Selain dorongan berprestasi, Rasulullah menerapkan konsep ukhuwah sebagai aturan interaksi sosial. Karenanya, bila kita tergabung dengan organisasi Islam, ataupun organisasi da’wah, daya inisiatif kita harus terus kita asah. Agar lahir kultur organisasi yang baik, bukan malah kultur yang mematikan budaya inisiatif.

Kultur pekerjaan
Dalam batas tertentu, jenis pekerjaan punya pengaruh kepada daya inisiatif seseorang untuk beramal shalih. Sopir angkutan yang berpacu mengejar tingginya setoran, mahasiswa yang berjibaku dengan diktat-diktat, seorang pengusaha mapan, pedagang di lampu merah, pegawai negeri, petani, dan lain sebagainya, punya kultur pekerjaan yang berbeda-beda. Suasana kerja yang berbeda-beda itu memberi pengaruh berbeda pula kepada tingkat inisiatif orang untuk melakukan amal shalih. Betapa banyak dari mereka yang tidak punya inisiatif untuk shalat, misalnya, karena alasan pekerjaannya. Padahal, sebenamya masalah utamanya adalah hati mereka, bukan pekerjaan. Karenanya, setiap muslim maupun seorang da’i harus mengenali betul karakter kultur pekerjaannya. Ia harus tahu seluk beluk dan lika-liku pekerjaannya. Dari situ ia lantas punya pengetahuan yang cukup untuk mengubah hambatan-hambatan inisiatif menjadi pendorong-pendorong inisiatif untuk beramal shalih.

Maka, pilihlah pekerjaan yang halal. Lalu kendalikan pekerjaan itu, dan jangan sebaliknya, pekerjaan yang mengendalikan kita. Bila pekerjaan berada di bawah kendali, kita akan bisa menjadwal diri untuk melakukan kewajiban-kewajiban beragama kita maupun kewajiban-kewajiban da’wah kita.

Kultur dasar pendidikan
Latar belakang kultur pendidikan kadang turut mempengaruhi daya inisiatif seseorang untuk beramal shalih. Kultur ilmu-ilmu eksak mempengaruhi kekuatan logika rasional lebih banyak dibanding ilmu-ilmu sosial. Sebaliknya, ilmu-ilmu sosial punya dorongan akomodatif dan toleransi yang lebih besar terhadap norma-norma tertentu. Apapun yang kita pelajari, sedikit banyak akan membentuk kepribadian kita. Sebelum orang melakukan pekerjaan atau beramal, pertama kali diawali oleh pemikiran. Atau persepsinya tentang pekerjaan itu. Seperti kata Imam Ibnul Qayyim, bahwa fikrah (pola pikir) itu mendahului pekerjaan. Atau seperti ungkapan Ibnu Khaldun, "Kamu adalah seperti apa persepsi kamu tentang kamu."

Bukan berarti ada pendidikan yang mematikan inisiatif seseorang. Tapi masalahnya lebih kepada sejauh mana seseorang dengan latar pendidikan tertentu tetap punya inisiatif beramal shalih yang tinggi. Dan, itu membutuhkan kearifan dari setiap orang.

Kultur bawaan lahir
Adakalanya, matinya inisiatif beramal merupakan dampak dari karakter bawaan lahir. Ada orang yang sejak lahir kemampuan berinisiatifnya lemah. Bisa karena faktor genetis, bisa juga karena salah urus pada masa kecil. Faktor genetis, yang oleh Rasulullah disebut dengan al-’irq memang tajam. Setiap bayi lahir pasti mewarisi unsur-unsur tertentu dari gen orang tua maupun kakek neneknya. Suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. Ia mengadu karena anaknya hitam negro, padahal ia dan istrinya tidak seperti itu. Rasululullah mengatakan, bisa jadi yang negro adalah kakek-neneknya di atas yang jauh sekali pun.

Adapun soal pembinaan sejak kecil, perhatian terhadap perkembangan kecerdasan anak, akan mempengaruhi tingkat kemampuan mereka dalam berinisiatif beramal. Baik kecerdasan intelektualnya, maupun kecerdasan emosinya. Menurut para ahli, otak manusia, atau kecerdasan intelektualitas itu bisa diperbaiki dan dibentuk hingga anak berusia sekitar delapan belas tahun. Sedang kecerdasan emosi bisa dibenahi hingga usia tua sekalipun.

Kemampuan berinisiatif tetap bisa diasah, sesuai kadar kecerdasan itu. Tapi inisiatif tak selalu harus lahir dari kecerdasan. Setidaknya, orang secara umum bisa menimbang mana yang baik dan harus ia amalkan. Dan mana yang buruk yang harus ia tinggalkan, Allah swt berfirman, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.”(QS. Asyamsy: . Pada taraf selanjutnya, setiap muslim dan setiap da’i harus terus belajar mengenali tabiat dirinya, menghafal karakter bawaannya. Lalu dari pengetahuan tentang dirinya sendiri itu, ia tahu betul kapan saat jenuhnya, dan bagaimana kiat membangun kembali semangat inisiatif beramal shalih. Sesuatu yang orang lain belum tentu tahu.

Semua kultur tersebut di atas, hanya peluang dan potensi yang bisa mempenqaruhi kadar inisiatif seseorang dalam beramal shalih. Tak selamanya kultur-kultur itu menjadi penghalang, apalagi menjadi sebab matinya inisiatif beramal shalih. Segalanya masih kembali kepada masing-masing kita. Bagaimana kita mengasah dan menumbuhkan terus semangat untuk berinisiatif. Agar apapun kultur yang mengitari diri kita, tetap menjadi pemacu untuk beramal shalih dan berda’wah lebih serius lagi. Wallahu’alam.


Tidak ada komentar: