19 November 2008

Mbak Sumirah

satu lagi email dari teman...

Sumirah nyambi jadi tukang sol sepatu, penjahit, dan pekerja pabrik.Sebagian hasil keringatnya itu ia gunakan untuk membangun madrasah, masjid,mushala, dan mengurus anak yatim.

Ternyata, beramal tidak harus menunggu kaya.

Penolakan halus langsung diucapkan Sumirah, pimpinan Panti Asuhan Yatim Piatu Amanah, Rungkut, Surabaya saat akan diwawancarai Surya untuk tulisan ini.

“ Saya ini apalah mbak, kok pakai diwawancarai. Masih banyak yang lebih bagus, lebih pintar dan lebih hebat,” elaknya saat ditemui di Panti Asuhan Amanah sekaligus rumahnya di Jalan Pandugo Gg II Nomor 30 B, Rungkut, Senin (15/9) lalu.

Secara materi, Sumirah memang belum bisa dibandingkan dengan pengusaha sukses. Namun, kekayaan hati Sumirah mungkin hanya dimiliki segelintir orang di abad ini.

Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini tak cukup mengelola panti asuhan. Ia mendirikan madrasah, masjid, dan mushala di kampungnya, Pacitan.

Mungkin juga sulit dipercaya, Sumirah menghidupi anak-anak yatim dengan menjadi tukang pijat panggilan.

Rasa empati Sumirah sudah terpupuk sejak kecil. Ia terbiasa bergaul dengan anak-anak yatim asuhan almarhum Atmorejo, ayahnya.

“ Saat itu ada 100 anak yatim dan anak-anak lain yang berlatih ilmu kanuragan (kebatinan) di rumah. Mereka semua tinggal di rumah,” kata ibu lima anak ini.

Secara materi Sumirah kecil tercukupi, namun didikan ayahnya tidak membuatnya manja. Bahkan, sejak kelas II SD dia sudah menjadi tukang pijat alternatif, warisan keahlian turun temurun. Duitnya ' ditabung ' di mushala di Desa Kembang, Kecamatan Pacitan.

Saat itu saya masih ingat nasihat ayah.”Kalau kamu punya rezeki, 50 persen untuk kamu dan 50 persen lagi untuk musala. Pasti rezeki itu akan barokah” kenangnya.

Pesan almarhum ayahnya terus diingat Sumirah. Setiap rupiah dihasilkan,selalu disisihkan untuk mushala. Begitu pula ketika orderan memijat merambah hingga Madiun, bahkan Semarang.

Saat SMP, Sumirah dan kakaknya hijrah ke Jakarta.

Di kota megapolitan ini Sumirah tidak tertarik mencicipi pekerjaan lain. Kebetulan, kemampuan memijatnya tersohor hingga ke Jawa Barat.

Pada 1986, Sumirah dan suami mencari peruntungan di Surabaya.

Di kota ini, selain tetap memijat, ia bekerja di pabrik PT Horison Sintex(sekarang Lotus). Ia hanya masuk pabrik hari Selasa, Rabu, dan Kamis.

Namun dua profesi itu belum cukup. Merasa waktunya masih senggang, Sumirah mencari pekerjaan sampingan. Ia menjadi tukang sol sepatu, menjahit baju, dan tukang keriting rambut.

“Karena pekerjaan banyak, rata-rata saya hanya tidur dua jam sehari. Mijat saja sehari hingga 20 kali,” katanya sambil tersenyum.

Kerja keras itu impas dengan hasilnya. Sehari, tidak kurang ia mengantongi Rp 2 juta. Namun limpahan uang itu tidak membuatnya mabuk.

Uang itu dialirkan untuk membangun madrasah, mushala-mushala, dan masjid di desanya. Sumirah enggan menyebut nama-nama mushala itu.“ Nanti saya ndak di-ridhoi kalau pamer ” katanya.

Suatu ketika, Sumirah pulang kampung. Jalan di desanya tidak bisa dilewati karena rusak berat. Prihatin, ia dan suaminya memperkeras seluruh jalan itu dengan paving blok. Walhasil, rencana naik haji seketika batal karena simpanan Rp 60 juta habis untuk ongkos paving.

“ Saya tidak pernah menyimpan uang di bank. Bukan apa-apa, tapi karena tanda tangan saya tidak pernah sama. Itu tentu tidak boleh, kan ? ” katanya.

Hidup Sumirah teruji saat dia melihat banyak anak telantar di sekitar kampungnya. Dia nekat menampung 54 anak yatim itu di rumahnya yang berukuran 2,5 meter x 13 meter.

“ Sebagian dari mereka saya kos-kan di depan rumah. Saya sewa tiga kamar ” katanya.

Masalah datang ketika anak asuhnya ndableg dengan menghabiskan air dan sabun milik ibu kos. Sekitar pukul 21.00 WIB, anak-anak itu diusir.

“ Mereka saya tampung di rumah saya. Jadi, mereka tidur sambil duduk ” kata Sumirah.

Esoknya, Sumirah mencari kontrakan untuk mereka. Tawaran kontrakan Rp 4 juta ditolak karena Sumirah tak punya duit. Di tengah kesulitan, ia berdoa.

Mendadak ada semacam dorongan untuk menghubungi Pak Triyono, dermawan dari Barata Jaya, Surabaya. Sumirah kaget, Pak Triyono memberinya zakat maal (zakat kekayaan) sejumlah Rp 4 juta.

“ Agar tidak mengganggu penduduk kampung, pagi-pagi sekali kami pindahan ” katanya.

Panti Asuhan Amanah, kini menampung 60 anak yatim, dibangun Sumirah tahun 1996.

Mereka kanak-kanak hingga remaja. Belum lama ini Sumirah mengasuh balita yang ditinggal mati bapaknya.

Amelia, balita itu, sekarang berumur sembilan bulan.

“ Oh ya, saya sudah menikahkan 13 anak disini, 16 Oktober 2008 nanti saya mantu lagi ” ujarnya dengan mata berbinar.

Untuk mencukupi hidup anak asuhnya, Sumirah tidak mengandalkan bantuan donatur yang sebagian adalah pelanggan pijatnya.

Selepas subuh, anak yatim itu berdagang kelapa kupas, sayuran, dan bumbu. Sumirah dan suami juga membuka toko kelontong.

Mengakhiri kisahnya, Sumirah sempat bilang,“ Pergunakanlah mata hati. Banyak orang pintar yang belum tentu mengerti. ”

17 November 2008

Simbah Diyem


Meneruskan email dari teman

terlalu berharga untuk dilewatkan...


Simbah Diyem adalah seorang nenek tua sebatang kara yang berprofesi sebagai pedagang kerupuk puli. Sehari-hari simbah berjualan di Pasar Bandar Kediri. Seharian Simbah menempuh perjalanan dengan berjalan kaki tanpa alas menuju pasar dari rumahnya di lereng Gunung Klotok Sukorame yang berjarak 14 km. Kakinya bengkak... gondong di lehernya menunjukkan kemiskinan yang menerpa kesehariannya....


Usai berjualan, Sang Simbah selalu mampir Masjid Baiturahman yang terletak di Jalan Penanggungan tak jauh dari Pasar Bandar. Saat itu Masjid Baiturahman masih dipenuhi pepohonan yang rindang, di tambah beberapa pohon bambu di pojok depannya... Asrama IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) ada di samping masjid....
Setelah berwudhu’, simbah masuk masjid. Mengambil mukena dari keranjang kerupuknya dan melakukan solat Zuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, Simbah keluar masjid dan mengumpulkan dedaun yang bertaburan di halaman masjid. Sehelai demi sehelai dikutipnya. Tidak satu helai pun dibiarkannya. Tentu saja agak lama simbah membersihkan masjid dengan cara itu, padahal matahari sedemikian menyengat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Para takmir masjid dan pelajar SMP Muhammadiyah yang sehari-hari berada di lingkungan masjid menjadi iba melihatnya.


Pada suatu hari, takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum simbah datang. Ketika simbah datang dan seperti biasa usai sholat, melakukan pekerjaan rutinnya..... namun dia terkejut karena tidak ada satu helai pun daun yang berserakan di halaman masjid. Dia kembali ke masjid dan menangis sambil bertanya kepada semua orang mengapa dedaunan itu sudah disapu sebelum kedatangannya. Orang di dalam masjid menjawab, karena mereka kasihan melihatnya.

Seketika itu Simbah menjawab :"Jika kalian kasihan melihatku, berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya,"jawab simbah sembari menyeka air matanya. Singkat cerita, keesokan harinya simbah dibiarkan mengumpul dedaunan yang bertebaran di halaman masjid seperti biasa.

Orang-orang tak mengerti. Seorang pelajar Kelas II SMP Muhammadiyah bertanya, dan mendapat jawaban.. :"Saya ini perempuan bodoh," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya mungkin tidak selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Nabi Muhammad s.a.w. Setiap kali saya mengambil sehelai daun itu, saya mengucapkan selawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Nabi datang menjemput saya. Biarlah semua daun itu menjadi saksi saya berselawat kepadaNya"....Kami semua meneteskan air mata haru.....Kini Simbah Diyem mungkin telah tiada.....

14 November 2008

Tahu tetapi Tidak Melakukan

Seorang bijak datang ke suatu desa dan menetap disana untuk memberikan pencerahan.Ketika ia memberikan ceramahnya, orang-orang desa berduyun-duyun datang memenuhi balai desa untuk memdengarkan. Ceramahnya sangat menarik dan membuat orang-orang tercerahkan. Karena itu, mereka selalu tak sabar menunggu datangnya pencerahan-pencerahan berikutnya. 

Namun penduduk desa kemudian menemukan fakta, ternyata orang bijak tersebut selalu menyampaikan ceramah yang sama. Merekapun curiga bahwa orang ini sebenarnya seorang penipu yang hanya mengetahui satu ceramah.

Tak dapat lagi menahan kesabaran, penduduk desa beramai-ramai mendatangi orang bijak ini dan bertanya, " Tak dapatkah Anda menyampaikan ceramah yang lain?" Ditanya demikian, orang bijak tersebut hanya tersenyum. " Saya belum melihat anda melakukan apa yang telah saya sampaikan dalam ceramah pertama," katanya. "Jadi mengapa saya harus membebani Anda dengan hal yang lain?"

Apa yang dikatakan oleh orang tersebut sebetulnya sering kita alami. Banyak di antara kita yang kerap merasa cukup hanya dengan mengetahui sesuatu. Kita membaca banyak buku, mengikuti berbagai diskusi, menghadiri berbagai pelatihan. Namun perilaku kita tidak juga berubah. Kita tidak melakukan apa-apa. Kebiasaan lama yang tidak efektif masih terus kita jalankan. Ini tentu saja sebuah pemborosan yang tidak sedikit.

Ketika selesai memberikan pelatihan kepemimpinan di banyak tempat, tak sedikit peserta memberikan tanggapan positif sambil menanyakan positif sambil menanyakan, "kapan kita akan melakukan pelatihan lagi?" atau, "Apakah ada materi lanjutan untuk topik ini?". Tentu saja, saya merasa tersanjung dengan apresiasi yang luar biasa ini. Namun diam-diam saya sering membatin sambil mengatakan bahwa sebetulnya pelatihan ini sudah cukup. Yang diperlukan adalah penerapannya. Bukanlah sia-sia ketika pelatihan demi pelatihan dilakukan tanpa ada perubahan perilaku apa pun.

Meskipun demikian , fakta ini sering dilupakan orang: mengetahui tidak akan pernah membawa perubahan. Mengetahui tidak akan mengubah nasib Anda , yang akan mengubah nasib adalah melakukan! Namun, mengapa banyak orang tahu, tapi tidak melakukan apa-apa?

Ada tiga hal yang menjadi penyebabnya:

Pertama, Karena mengetahui sering memberikan sensasi hebat. Ketika mengetahui sesuatu anda merasa di atas kebanyakan orang. Mengetahui menimbulkan kebanggan tersendiri. Inilah yang saya sebut sebagai "Ilusi Pengetahuan". Ilusi ini berbunyi ”kita sudah berubah hanya dengan mengetahui.” Mengetahui sering memberikan jebakan tersendiri berupa perasaan aman dan nyaman. Dengan mengetahui, kita merasa siap menghadapai segala masalah.

Bahkan sekedar mengumpulkan buku yang tak pernah sempat kita baca maupun memunculkan ilusi ini. Ketika bersekolah dulu, saya dan kawan-kawan senantiasa membeli banyak buku serta memfotokopi berbagai diktat kuliah jauh lebih banyak dari dapat kita baca, semata-mata karena hal ini memberikan ketenangan psikologis kepada kami. Dengan menumpuk buku, kami merasa siap menghadapi tugas apapun. Padahal bahan yang bertumpuk itu tak pernah sekalipun kami baca, sehingga tidak akan pernah berpengaruh terhadap pengetahuan, apalagi kehidupan kami. Rasa aman yang tercipta sebenarnya hanyalah sebuah ilusi yang menyesatkan.

Kedua, orang tidak melakukan apa yang mereka ketahui karena mereka tidak memeliki alasan untuk melakukannya. Bukanlah ketika kita sehat kita tidak punya alasan yang kuat untuk berolah raga? Bukankah ketika perusahaan sedang naik daun kita tidak merasa perlu melakukan perubahan? Ini disebut "Ilusi perubahan" yang mengatakan bahwa satu-satunya alasan yang masuk akal untuk perubahan adalah ketika terjadi krisis. Padahal perubahan yang terjadi karena krisis pasti terasa menyakitkan, membutuhkan biaya yang besar, dan sering sudah terlambat. Bukankah alasan terbaik untuk melakukan perubahan adalah buat mempertahankan posisi yang sudah kita nikmati selama ini?
Bukankah perubahan mestinya adalah sesuatu yang kita "haruskan" kepada diri kita sendiri, bukannya menunggu hal itu "diharuskan" oleh situasi, keadaan, pelanggan dan pesaing?

Ketiga, orang tidak melakukan apa yang sudah diketahuinya karena tidak mau meninggalkan zona nyamannya. Apa pun yang biasa kita lakukan memang mencipkan gaya gravitasi yang luar biasa. Karena itu, keinginan menerapkan sesuatu yang baru selalu menciptakan medan pertempuran dalam diri kita. Pertempuran ini sering berjalan tidak seimbang karena kebiasaan lama pasti memiliki gaya tarik yang lebih besar. Belum lagi, ada faktor lingkungan yang juga cukup besar pengaruhnya. Maka, tidak aneh bahwa pertarungan ini akan dengan mudah dimenangi kebiasaan-kebiasaan lama kita.

Semua pengetahuan yang tidak dimanfaatkan sebenarnya hanyalah satu bentuk pemborosan. Kapan Anda tahu bahwa perlu menelepon seorang pelanggan? Akan tetapi, kapan Anda benar-benar meneleponnya? Kapan Anda tahu bahwa membangun jejaring itu penting bagi Anda? Akan tetapi, kapan Anda mulai membangun jejaring tersebut? Kesenjangan antara "Kapan Anda mengetahui" dan "Kapan Anda melakukan", itulah definisi pemborosan waktu. Lebih jauh lagi, Anda sebenarnya baru disebut sebagai seorang pemimpin bila Anda melakukan" bukan sekedar "mengetahui". Bahkan, bukankah di akhir hidup kita, kita tidak akan ditanya mengenai apa yang kita ketahui? Bukankah pertanyaan terpenting adalah apa yang telah kita lakukan?

Oleh Arvan Pradiansyah

11 November 2008

Pahlawan...Sebuah Ironi Pengakuan


Hari ini jalanan cukup macet, bahkan hampir terlambat absen pagi. Disamping hari senin, ternyata disana-sini banyak peringatan Hari Pahlawan.

Pahlawan…, sebuah kata yang menginspirasi saya untuk browsing sana-sini mencari pencerahan dan referensi tetangnya lebih lanjut. Akhirnya singgahlah saya di http://http://id.wikipedia.org/wiki/Pahlawan_nasional_Indonesia yang menyajikan daftar nama Pahlawan Nasional per 10 Nopember 2006 yang berjumlah 138 tokoh.

Ada beberapa nama yang sudah sangat familiar bagi telinga saya seperti Jenderal Sudirman, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar sampai para Pahlawan Revolusi.

Ada juga beberapa nama yang baru saya baca tetapi setelah melihatnya saya bisa memaklumi alasan pemberian gelar Pahlawan Nasioanal seperti Andi Djemma, Usman Janatin, Harun dan beberapa lagi (mungkin saya yang kurang baca).

Tapi ada beberapa nama yang sudah tidak asing tetapi membuat saya terperanjat ketika namanya tercantum dalam daftar tersebut. Pertama Fatmawati, jasa terbesarnya adalah menjahit bendera pusaka yang dikibarkan saat proklamasi. Ada juga Siti Hartinah, mungkin jasanya adalah ikut dalam perang kemerdekaan tetapi yang jelas tercantum adalah bahwa beliau isteri Presiden Suharto. Kemudian Ada Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Sumatera Utara yang meninggal saat pesawatnya jatuh ketika hendak menghadiri rapat dengan Presiden.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan ucapan terima kasih atas jasa-jasa Beliau, apakah alasan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mereka sudah tepat? Saya berharap jawabannya adalah “sudah tepat” karena tidak mungkin kita mundur kebelakang.

Akan tetapi jika memang sudah tepat harusnya ini menjadi konsideran bagi pemerintah untuk melakukan hal yang sama kepada semua orang yang melakukan hal serupa apalagi yang lebih besar.

Saya jadi teringat sekelompok peneliti IPTN yang jatuh bersamaan dengan pesawat yang sedang diujicobakan demi membangun dunia dirgantara Indonesia. Saya juga membayangkan bahwa para pahlawan besar pastilah didampingi isteri yang menjahitkan bajunya, menyediakan makanannya dan memberi ketenangan kepadanya sehingga sang pahlawan bisa optimal saat berjuang. Saya juga ingat Mang Udin yang setiap bulan Juli menjahit ribuan bendera merah putih sehingga banyak orang bisa mengibarkannya di bulan Agustus.

Diujung browsing saya ketemu sabuah berita bahwa tahun ini…, ya di tahun 2008 ini pemerintah baru menganugerahkan gelar Pahlawan Nasioanal kepada sebuah nama yang sangat saya kenal mungkin juga Anda bahkan seluruh Rakyat Indonesia. Sebuah nama yang jasanya bisa kita rasakan, semangatnya diabadikan bahkan dalam semangat peringatan Hari Pahlawan. Sebuah nama yang sangat boleh jadi telah dianggap sebagai Pahlawan sebelum dikukuhkan. ”Bung Tomo”.

Setelah tanya sana-sini barulah saya peroleh data bahwa alasan tertundanya pemberian gelar Pahlawan Nasional adalah bahwa keluarga Bung Tomo tidak atau belum mengajukan usulan. Kedua, karena alasan politik terutama diera Sukarno dan Suharto yang banyak bertentangan sikap dengan Bung Tomo.

05 November 2008

CORE - Penumbuh Jiwa Kreatif

Cari Tahu

Kebutuhan bisa jadi merupakan induk penemuan hal-hal yang sebelumnya tidak ada namun rasa ingin tahu adalah induk penemuan hal-hal yang tidak diketahui sebelumnya. (Charles Handy: The Age of Unreason).

Kebutuhan, kesulitan dan tekanan memicu manusia untuk menggunakan otaknya secara optimal mencari jalan keluar. Ketika harga minyak dunia menggila hingga 140 dollar maka muncullah berbagai energi alternatif mulai batubara, gas bumi, bio energi, nuklir dan sebagainya bahkan ada yang berfikir diluar kewajaran untuk menjadikan air sebagai bahan bakar hingga lahir proyek “blue energy”. Sayangnya ketika harga minyak kembali turun bahkan sampai level 60 dollar, semua dorongan untuk berkreasi tersebut pun padam secara berlahan.

Tuntutan menghasilkan produk yang lebih murah, lebih cepat, lebih mewah, lebih banyak dan sejenisnya juga menjadi penyebab seseorang berfikir keras mencari solusi. Dahulu orang cukup memanfaatkan binatang seperti onta, kuda dan keledai untuk jadi kendaraan tetapi keinginan untuk bergerak lebih cepat dan tidak merepotkan akhirnya melahirkan sepeda, becak, motor, mobil, pesawat terbang, jet bahkan kini orang sedang mencari cara bisa berpindah dari satu tempat ke tampat lain dalam seketika. Artinya, sebagian besar penemuan adalah pengembangan dari yang sudah ada.

Sebagian kecil penemuan terlahir karena rasa ingin tahu yang terpelihara setelah melihat sesuatu sebagai stimulan sampai benar-benar keingintahuan tersebut terpuaskan. Hampir semua manusia pernah mengalami rasa ingin tahu dan penasaran, hanya saja justeru sebagian besar mereka hanya memendam rasa itu seiring berjalannya waktu. Padahal, sangat boleh jadi stimulus ini sengaja diturunkan Tuhan kepada kita agar kita kaji lebih jauh sehingga kita bisa menemukan sesuatu yang belum pernah diketahui orang lain.

Apapun motivasi awalnya, jika kita terus mencari jawabannya hingga tuntas maka kitalah orang kreatif itu. Bayangkan jika orang-orang berikut tidak menyalurkan rasa ingin tahu mereka :

Jika Newton, ketika mengamati jatuhnya sebuah apel dari tangkainya hanya berpikir “apa itu?”, mungkinkah teori gravitasi berkembang di jamannya?
Jika Edwin Land tidak terpicu rasa ingin tahunya ketika putrinya ingin segera melihat foto liburan mereka, mungkinkah foto langsung jadi sudah ada hari ini?
Jika Richard James, seorang insinyur AL USA tidak memperhatikan apa yg terjadi ketika dia menjatuhkan pegas torsi, akankah anak-anak bisa menikmati lucunya Gelang-Gelang Spiral.

Olah Keterbukaan

Perubahan adalah sebuah keniscayaan, sekuat apapun kita mempertahankan diri dengan cara statis (tidak mau berubah) maka akan berujung kepada kekecewaan karena kita akan menjumpai bahwa kita pada akhirnya hanya menjadi orang-orang yang tertinggal, tersisih, dianggap kuno dan ditinggalkan. Karena itu, jika ingin bertahan dalam kemenangan bersikaplah ”fleksibel”.
Kebiasaan buruk kita adalah hanya mau menerima keyakinan yang sudah baku dan mencurigai hal baru. Padahal, Fakta baru yang dipadukan dengan keyakinan lama akan menghasilkan lompatan yang signifikan.
Jika Anda menutup diri, mengabaikan, atau mengolok-olok gagasan orang lain, maka Anda tidak akan pernah meninggalkan zona kenyamanan untuk menemukan dunia luar yang membentang luas.

Resiko

Ibarat anak yang baru belajar berjalan, jatuh adalah resiko yang harus dibayar. Demikian juga ketika kita mencoba memasuki dunia baru maka resiko yang harus kita hadapi pasti sedang menanti, diantaranya:
 Resiko memasuki kegelapan
Ibarat kita harus memasuki sebuah ruangan yang belum kita kenal dalam keadaan gelap gulita. Terperosok, tersandung, tersangkut, terjatuh, terjedot adalah resiko yang harus kita bayar. Lambat laun, mata kita akan menyesuaikan diri dalam kegelapan.
 Resiko Menantang nasib
Ketika seseorang mengalami kegagalan maka alibi terbaik adalah mengatakan ”ini sudah nasib”, seolah dia tahu benar bahwa nasibnya memang harus gagal. Trauma kegagalan inilah yang akan membedakan karakter seseorang ada fighter sejati yang tidak peduli berapa kali dia gagal dan terus maju menerjang. Namun, ada juga kelinci sejati yang hanya dengan satu atau dua kegagalan menjadikannya mengambil kesimpulan “ini sudah nasib saya”. Hidup ini seperti permainan. Seperti anak kecil yang sedang asyik bermain, harusnya kalah atau menang, berhasil atau gagal tidak membuat kita kapok.
 Resiko untung-untungan
Dunia dan isinya selalu terikat pada hukum ketidakpastian. Terkadang, dengan sedikit usaha dan pengorbanan seseorang bisa meraih kesuksesan. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang sudah mengerahkan segala potensi tetapi kesuksesan tidak kunjung tiba. Yang harusnya jadi fokus kita adalah mengoptimalkan potensi kemenangan dan keberhasilan dari ”sekedar untung-untungan” sampai dititik ”secara logika pasti berhasil”.Setelah berusaha secara optimal maka pemegang kartu adalah Tuhan. Biarlah tangan-Nya yang bekerja. Tapi jangan lupakan bahwa Tuhan Maha Adil, tidak mungkin menganiaya hamba-Nya dan berlaku tidak adil. Jika akhirnya kegagalan juga yang menghampiri kita, pastikan bahwa ”sesuatu terjadi (ditetapkan) karena suatu alasan”.
 Resiko jadi bahan tertawaan
Banyak prestasi kreatif harus dimasyarakatkan bahkan sejak awal prosesnya, kondisi ini sering mengundang tertawaan bahkan ditolak. Kolonel Sanders, Wrigth Bersaudara, Nabi Nuh dan masih banyak lagi adalah orang-orang yang ditertawakan bahkan ditolak. Jangan pernah menghentikan langkah karena komentar seseorang walaupun kita juga tidak boleh mengacuhkan masukan orang lain.
Jadikan tertawaan mereka sebagai lecutan dan pertanyaan ”apa yang belum sempurna”. Dan, yakinlah bahwa siapa yang tertawa paling akhir, dialah pemenangnya.

Energi

Apalah arti sebuah mobil cantik jika tidak bisa dikendarai karena tidak ada bahan bakarnya (energi). Energi adalah percik api yang menyalakan jiwa.
Energi bisa muncul dari sumber yang bervariatif. Perasaan terhina, terhimpit, terancam dan teraniaya bisa meledak menjadi sumber energi yang luar biasa tetapi tidak untuk jangka waktu yang lama. Rasa lapar bisa memunculkan insting kehewanan kita hingga sanggup membunuh. Keinginan dihormati, berkuasa dan diakui bisa mendorong kita mengorbankan yang kita miliki. Akan tetapi, Energi tertinggi yang mampu menjaga stamina kita hingga tujuan terwujud adalah cinta. Kecintaan terhadap suatu hal akan mampu membangkitkan segala energi yang diperlukan demi tercapainya tujuan.